Page 59 - BUMI TERE LIYE
P. 59
TereLiye “Bumi” 56
Aku sudah memutuskan tutup telinga, melangkah menuju meja. Ali
memang genius, serbatahu, banyak akal, tapi dia lupa satu hal: kegeniusan
dan rasa ingin tahunya itulah yang menjadi kelemahannya. Cepat atau
lambat, karena rasa penasaran, dia akan mengalah, dan aku akan tahu dari
mana dia bisa tahu si Hitam hilang—ter-masuk seruannya barusan.
”Dasar jerawatan! Begitu saja marah, cewek banget.” Ali bergumam
kesal, menyerah, meninggalkanku sendirian di kelas.
Apa Ali bilang? Jerawatan? Kalau saja menurutkan perasaan, sudah
kutimpuk si biang kerok itu dengan sepatu. Sejak kapan ada yang
mengataiku jerawatan? Dia itu—yang seluruh se-kolah juga tahu—sudah
berantakan rambutnya, ketombean pula.
***
Matahari beranjak naik, langit cerah, membuat cahayanya me-nerabas
lembut melewati kisi-kisi ruangan. Sekolah mulai ramai, teman-teman
sekelas satu per satu masuk, meletakkan tas. Mereka saling sapa. Suara
dengung percakapan, teriakan, ada yang ber-main bola di lapangan, apa saja
memenuhi sekolah. Seli tiba setengah jam kemudian, menyapaku. ”Pagi,
Ra.” Aku tersenyum, mengangguk. ”Kamu tidak ketinggalan buku PR Miss
Keriting lagi, kan?” Seli tertawa, sambil memasukkan tas ke laci meja. Aku
mengangkat buku PR matematikaku.
Pukul 07.15, bel bernyanyi nyaring, menghentikan seluruh
ke-ramaian. Anak-anak bergegas masuk ke kelas. Pelajaran per-tama hari ini
akan segera dimulai.
Seperti biasa, ketukan suara sepatu Miss Keriting terdengar di lorong,
jauh sebelum dia tiba di kelas. Hari ini dia me-ngenakan kemeja cokelat
lengan panjang, celana kain berwarna senada, dan sepatu hitam. Cocok
dengan wajahnya yang penuh disiplin. Rambut keritingnya terlihat rapi. Eh,
apakah itu rambut asli atau wig? Aku buru-buru mengusir pertanyaan dalam
hati saat melihat rambut Miss Keriting—ini pasti gara- gara Ali baru-san,
semua yang keluar dari mulutnya memancing rasa pe-nasaran.
”Selamat pagi, anakanak.”
http://cariinformasi.com