Page 63 - BUMI TERE LIYE
P. 63
TereLiye “Bumi” 60
kelas sepuluh, dan seperti kebanyakan remaja seumuranku, jerawat satu
saja bisa bikin rusak suasana hati.
Aku akhirnya hanya mampu menghabiskan separuh porsi batagor ku.
Selera makanku hilang. Seli menawarkan diri menghabiskan batagor-k u.
Tuntas satu menit, aku mengajak Seli kembali ke kelas, menunggu bel masuk
yang tinggal beberapa menit lagi.
”Lusa kantinnya tutup lho, Neng. Sudah tahu belum?” Mamang
batagor basa-basi mengajak bicara, sambil mencari uang kembalian dari
sakunya.
”Tutup? Kok tidak ada pengumuman jauhjauh hari?” Seli yang selalu
berkepentingan dengan kantin bertanya memasti-kan.
”Mendadak, Neng. Itu gardu listrik dekat kantin mau diperbaik i.
Karena kantin ini dekat gardu, jadi diminta ditutup sama petugasnya. Tadi
baru saja petugas PLN-nya bilang. Cuma tutup sehari kok. Eh, nggak ada
kembaliannya nih. Gimana?”
”Ya sudah, sekalian buat bayar Mamang bakso. Kemarin saya beli dua
mangkuk. Tolong dibayarkan, ya. Sama es jeruknya juga.” Seli gesit punya
ide lain—melirik meja dekat gerobak bakso yang masih diisi geng
cheerleader.
Mamang batagor mengangguk, sudah terbiasa dengan pola
pembayaran ”canggih” seperti ini di kantin.
Sisa pelajaran hari ini lebih santai, teman-teman lebih banyak tertawa
mengikuti pelajaran sejarah. Gurunya kocak, meski sudah beruban, sepuh,
hampir pensiun. Mr. Rosihan lebih banyak mengajar dari pengalaman ny a
dibanding buku teks yang kami pegang, membawa kliping-kliping koran ke
dalam kelas yang tebalnya membuat kami semakin respek padany a.
Menurut bisik-bisik Seli, Mr. Rosihan bahkan kenal dengan beberapa tokoh
nasional dalam buku sejarah kami.
Lewat istirahat kedua, jam pelajaran terakhir adalah bahasa Inggris.
Mr. Theo, guru yang tampan dan pintar berbahasa Inggris itu (lima tahun
pernah tinggal di London), menyuruh kami bermain drama, praktik
conversation. Seli—yang ngefans berat dengan Mr. Theo—terlihat
http://cariinformasi.com