Page 53 - BUMI TERE LIYE
P. 53
TereLiye “Bumi” 50
Aku menguap, menyingkap selimut. Si Putih masih malas meringkuk
di ujung kakiku. Teringat percakapan orangtuaku tadi malam, aku bergegas
loncat dari ranjang. Aku harus mem-bantu Papa, setidaknya dengan tidak
merepotkan membuatnya menungguku. Aku mandi dengan cepat, bergant i
seragam, me-nyiapkan tas sekolah, memastikan buku PR matematika itu
ku-bawa. Lantas bergabung turun.
”Pagi, Ra,” Papa menyapaku. Papa sedang sarapan—tidak me-nyentuh
koran pagi.
”Pagi, Pa.” Aku langsung menyeret kursi.
”Kamu mau sarapan apa, Ra?”
”Nasi goreng saja, Ma.”
Mama menyendok nasi goreng dari atas wajan.
”Bagaimana sekolah kamu kemarin?” Papa bertanya.
”Seperti biasa, Pa.”
Papa mengangguk, tidak bertanya lagi. Aku bergegas meng-habiskan
sarapanku. Mama sibuk membereskan peralatan masak kotor. Sarapan
cepat, sepuluh menit aku sudah melangkah di belakang Papa menuju garasi.
Kucium tangan Mama, dan tiga puluh detik kemudian, mobil yang
dikemudikan Papa meluncur ke jalan raya.
Sepanjang perjalanan Papa lebih sering me-nelepon dan di-telepon.
Aku bisa mendengar percakapan Papa karena ponsel Papa disetel
menggunakan pengeras suara. Tentang buruh di ru-mah sakit, apakah
keluarga mereka sudah datang, Papa ber-tanya memastikan. Juga tentang
mesin pencacah raksasa, tadi malam teknisi bule itu pulang jam berapa. Papa
mengangguk mendengar jawabannya.
Aku menatap ke luar jendela, tidak terlalu tertarik mengupin g
pembicaraan.
Pagi ini cerah, wajah-wajah sibuk menyambut pagi disiram cahaya
lembut matahari. Langit terlihat bersih, hanya sisa air hujan di ujung atap
rumah, halte, pepohon-an, juga genangan kecil di jalan.
http://cariinformasi.com