Page 130 - PDF Compressor
P. 130
* * *
K e a r a
I think this guy is growing on me. This guy, yang saat ini se-
dang memelukku dan mencium bibirku ini. Setelah segelas
Merlot dan empat butir cokelat Patchi yang dibawanya tadi.
Panji is a no nonsense kind of guy. Semua perbuatan, per-
kataan, dan sentuhannya jelas-jelas ditujukan untuk merayuku
tanpa basa-basi. Seperti dua jam yang lalu, saat dia mengajak-
ku dinner sepulang kerja, yang kutolak karena sudah telanjur
makan takeout Bakmi GM jatah lembur di kantor.
”Bakmi GM? Really?” ledeknya tadi.
Aku tertawa. ”What can I say? I’m cheap.”
”Dessert then? Gue ke apartemen lo aja, ya. I’ll make sure
128
it’s not cheap.”
Panji muncul di apartemen ini sejam yang lalu. Merlot dan
Patchi, bumi dan langit dibandingkan Bakmi GM seharga tiga
puluh ribu yang kunikmati bersama Ruly di kantor tadi.
Sama bumi dan langitnya dengan percakapan kami tadi. To-
pik pembahasan aku dan Ruly biasanya berputar pada kelucu-
an di kantor, kelakuan bos kami, dan hal-hal tanpa substansi
lainnya. Saat aku dan Panji mengobrol, kami membahas buku,
film, fotografi, arsitektur. Tapi yang lebih penting lagi, we talk
about us. His day and my day and our lives. Seperti tadi saat
aku dan dia duduk di sofa, dan dia menatapku bertanya, ”Ca-
pek banget, ya? Wajah lo capek banget tuh kayaknya. Lagi
ribet banget di kantor?” You see, aku tahu itu pertanyaan wa-
jib yang ditanyakan semua laki-laki untuk menunjukkan per-
hatian. But I answered the question anyway, just to see how this
game would play out.
Isi-antologi.indd 128 7/29/2011 2:15:20 PM