Page 128 - PDF Compressor
P. 128
selalu tertawa pada lelucon apa pun yang dilontarkan Ruly.
Bukannya menurut gue Ruly nggak lucu ya, kalau Ruly basi
juga nggak mungkin jadi sahabat gue. Tapi gue Harris, man.
The Harris Risjad. I’m the guy who makes her laugh!
Kejadian di Starbucks sore itu, dua bulan sebelum kebe-
rangkatan kami dulu ke Singapura, akhirnya membuka mata
gue. Alasan dia mau ikut ke Singapura waktu itu bukan kare-
na shopping atau balapan atau fotografi, apalagi karena gue.
Tapi karena si Ruly lucky bastard itu. Bayangkan betapa besar-
nya kepala gue waktu itu ketika dia tetap memutuskan
ikut—walaupun harus gue bujuk setengah mati—saat Ruly
membatalkan kepergiannya. Dia milik gue, cuma milik gue,
selama tiga hari penuh. But like everything else in my life, I
fucked that up too.
Sekarang di lapangan indoor kantor ini, sambil gue me-
126
nunggu Ruly mengalahkan gue lagi di pertandingan tenis ru-
tin kami, apa yang bisa gue lakukan selain menangisi dalam
hati hilangnya iPod gue itu. Yang di dalamnya ada playlist
berjudul Keara, berisi semua lagu-lagu cinta Celine Dion dan
Mariah Carey yang mengiringi ratapan gue. The fucking
soundtrack of my pathetic life. Pengiring tawa para malaikat
karena seorang PK seperti gue akhirnya merasakan juga perih-
nya disakiti perempuan.
”Hei, bro, ngapain bengong lo? Langsung pemanasan aja.”
Ruly dengan cocky-nya muncul di lapangan, dengan raket
tenisnya yang sudah puluhan kali men-smash gue.
”Lama banget lo, bro, ngantuk gue nungguin lo,” gue meng-
ambil posisi di lapangan sebelah kiri.
”Sori, kerjaan baru gue, rapat mulu nggak selesai-selesai,”
Ruly mulai mengambil posisi menservis bola. ”Eh, gue satu
tim sama Keara sekarang, gue belum bilang, ya?”
Isi-antologi.indd 126 7/29/2011 2:15:20 PM