Page 5 - POLA PERBAIKAN STATUS GIZI MELALUI PELAKSANAAN KONSELING GIZI DAN PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN (PMT) PADA PROSES PENYEMBUHAN PASIEN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU
P. 5
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan (a) latar belakang masalah, (b) rumusan masalah, dan
(c) tujuan sebagaimana jabaran berikut.
1.1 Latar Belakang Masalah
Penyakit tuberkulosis paru merupakan salah satu masalah kesehatan yang sampai
saat ini masih menjadi sorotan bagi masyarakat global. Tuberkulosis paru adalah penyakit
menular disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Sumber penularannya
berasal dari percikan lendir atau dahak ketika penderita penyakit ini batuk atau bersin.
Tuberkulosis paru tidak boleh disepelekan karena dapat menyerang siapa saja, dari semua
golongan, segala usia, jenis kelamin, dan semua status sosial ekonomi. Salah satu faktor
yang mendukung kesembuhan pasien penderita penyakit tuberkulosis paru tergantung
pada kualitas dan kuantitas makanan yang berhubungan dengan status gizi. Perlu adanya
upaya perbaikan status gizi buruk untuk memutus mata rantai penularan serta
memberantas penyakit tuberkulosis di Indonesia karena sebagian besar penderita
tuberkulosis paru memiliki status gizi kurang akibat penurunan nafsu makan yang
menyebabkan gangguan penyerapan zat gizi makanan pada sistem pencernaan (Puspita et
al., 2016).
Kondisi ketidakseimbangan asupan nutrisi di dalam tubuh dapat menyebabkan
malnutrisi dan menghambat proses penyembuhan pasien. Malnutrisi sering ditemukan
pada pasien tuberkulosis paru, khususnya yang dirawat inap, dan dapat memperburuk
hasil pengobatan. Namun, data dari Indonesia masih sedikit, tidak sebanding dengan
tingginya kasus tuberkulosis (Tedja et al., 2014). Hal tersebut mengakibatkan pasien
mengalami kekurangan energi dan protein sehingga mereka terlihat kurus dan terjadi
penurunan daya imunitas dikarenakan sistem respon imun humoral (immunoglobulin) dan
selularnya berespon lambat terhadap antigen yang masuk sehingga pasien tuberkulosis
paru dapat berisiko terkena penyakit lain. Berdasarkan hasil subjek penelitian
(Wisnugroho, 2014), asupan protein yang tergolong defisit sebanyak 65,3% cenderung
mempunyai status gizi kurang 7,8% cenderung mempunyai status gizi lebih.
1