Page 67 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 67
Namun apalah daya Teweraut atas kehendak nDiwi yang kuat laksana sabda dewa,
tak bisa dibantah. NDiwi justru berpendapat jika Teweraut hidup bersama istri-sistri
Akatpits maka beban kerjanya akan ringan dalam melaksanakan kewajiban sebagai
istri. Teweraut menurut nDiwi dapat berbagi tugas dengan istri-istri Akatpits
tersebut. Nasib Teweraut juga akan jauh lebih baik karena menjadi perempuan
terpandang dan akan dihargai oleh masyarakatnya, sekaligus bisa mengangkat
derajat orang tuanya dalam masyarakat Asmat. Ketegasan nDiwi tersebut tiada lain
sebagai upayanya untuk mempertahankan martabat dan harga diri sebagai tokoh
adat terpandang dalam masyarakat Ewer. Sebuah upaya pemanfaatan politis atas
hegemoni budaya patriarkhi. Tindakan nDiwi dalam menjodohkan Teweraut pada
Akatpits didasari dengan kepentingan nDiwi termasuk dalam ketidakadilan gender
berbentuk subordinasi gender atas budaya patriarkhi (Fakih, 2013).
Pernikahan itu telah mengubah segala rencana Teweraut yang semula ditata
sedemikian rupa. Sebenarnya saat itu Teweraut berharap Def berada di Ewer.
Adanya Def di Ewer setidaknya bisa menahan keinginan nDiwi untuk menikahkan
dirinya kepada Akatpits. Namun Def tengah berada jauh darinya yang membuat
harapan Teweraut menjadi pupus untuk diperistri seorang guru.
Dalam sabdanya nDiwi menyebutkan bahwa adat perempuan Asmat sudah
ditentukan peranannya di masyarakat. Oleh karena itu, perempuan tidak perlu
banyak berencana, karena tugas perempuan sudah ditentukan yakni mengayomi
kelurga, melahirkan anak, merawat dan mengasuhnya, menyusui, mendidik anak-
anak, dan mencari makanan yang bagus untuk keluarga. Adapun perempuan yang
berpendidikan tinggi, bukan berarti bebas bekerja seperti laki-laki. Bagi nDiwi,
pendidikan yang telah diperoleh Teweraut cukup untuk mendidik anak-anak
mereka saja. Teweraut tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menerima aturan
patriarkhi yang membelenggu itu. Patriarkhi yang dialami Teweraut menurut
Walby (Chandraningrum, 2014), dalam enam struktur dasar patriarkhi yang salah
satunya bahwa perempuan selalu dalam “kerugian budaya” yang mengglorifikasi
feminitas, yang mana bila perempuan menolak hal itu, ia akan mengalami kerugian-
kerugian budaya.
62