Page 5 - Alifia Nurul Safira (22291001), Maolida Ahmalia (22290125), Khotibul Umam (22291005), M. Rizwan Hasyim (22291006) Dalam lingkungan sekolah elit yang penuh dengan tekanan sosial, enam remaja menghadapi konflik, diskriminasi, dan perundungan yang merongrong keseharian mereka. Titus, seorang siswa dengan kebanggaan akan identitasnya, berjuang untuk bersuara melawan ketidakadilan, meskipun teman- temannya seperti Amira menunjukkan sikap ambigu.
Didorong oleh bimbingan Pak Tedy, seorang guru bijaksana, kisah ini mengungkap kebenaran yang selama ini terbungkäm, mengajarkan arti empati, keberanian, dan pentingnya menghormati perbedaan.
P. 5
CHAPTER I
PEMBUKAAN (OPENING)
Di sebuah sekolah elit, enam remaja berinteraksi dalam lingkungan yang penuh
tekanan sosial. Revan, anak kaya yang merasa superior, sering merendahkan teman-
temannya, terutama Titus dan Amira yang berasal dari Indonesia Timur. Siska, pacar Revan,
selalu menambah bumbu perundungan, sedangkan Albi, yang ingin menyenangkan, terus
mengikuti Revan meski dalam hati merasa tidak nyaman. Titus bangga akan kulitnya yang
gelap, tetapi takut untuk melawan bully. Amira terlihat mendukung Titus, tetapi sebenarnya
mengkhianatinya. Pak Tedy, guru bijaksana, melihat semua ini dan merencanakan cara untuk
membongkar ketidakadilan yang terjadi. Di akhir cerita, suara yang selama ini dibungkam
mulai terungkap, mengguncang dunia mereka.
In an elite school, six teenagers interact in an environment of social pressure. Revan,
a rich kid who feels superior, often belittles his friends, especially Titus and Amira who come
from Eastern Indonesia. Siska, Revan's girlfriend, always adds spice to the bullying, while
Albi, eager to please, keeps following Revan despite feeling uncomfortable inside. Titus is
proud of his dark skin, but afraid to stand up to the bully. Amira seems to support Titus, but
actually betrays him. Mr. Tedy, the wise teacher, sees all this and plans a way to expose the
injustice. By the end of the story, the voices that have been silenced are revealed, shaking
their world.
Suatu hari dikantin sekolah yang ramai. Meja-meja dipenuhi oleh siswa yang sedang
makan siang. Revan dan Siska duduk di meja utama dengan Albi yang setia di sampingnya.
Titus dan Amira duduk di meja lain, mengobrol pelan. Ketika Revan dan Siska melihat Titus
dan Amira, situasi mulai memanas.
One day in a crowded school cafeteria. The tables were filled with students eating
lunch. Revan and Siska sat at the main table with Albi by their side. Titus and Amira sat at
another table, chatting quietly. When Revan and Siska saw Titus and Amira, things started to
get heated.
Revan: (melirik ke arah Titus dan Amira dengan senyum sinis)
"Lihat deh, ada dua orang yang sepertinya lupa kalau mereka nggak cocok duduk di sini."
(tertawa mengejek)
Revan: (glancing at Titus and Amira with a sardonic smile) “Look, there are two people who
seem to have forgotten that they don't belong here.” (laughs mockingly)
Siska: (tertawa keras, suaranya lantang)
"Iya, Rev! Cantik ya, kulit coklat mereka. Habis main lumpur di desa kali ya?" (tertawa lagi,
memancing perhatian)
Siska: (laughing loudly, her voice loud) “Yes, Rev! Their brown skin is beautiful. Have you
been playing in the mud in the village?” (laughs again, drawing attention)
Albi: (melirik Titus dengan canggung, tidak nyaman, tapi tetap duduk diam)
"Ehm... Mungkin kita makan aja, Rev. Udah siang nih." (berusaha mengalihkan perhatian)
1