Page 8 - Alifia Nurul Safira (22291001), Maolida Ahmalia (22290125), Khotibul Umam (22291005), M. Rizwan Hasyim (22291006) Dalam lingkungan sekolah elit yang penuh dengan tekanan sosial, enam remaja menghadapi konflik, diskriminasi, dan perundungan yang merongrong keseharian mereka. Titus, seorang siswa dengan kebanggaan akan identitasnya, berjuang untuk bersuara melawan ketidakadilan, meskipun teman- temannya seperti Amira menunjukkan sikap ambigu.
Didorong oleh bimbingan Pak Tedy, seorang guru bijaksana, kisah ini mengungkap kebenaran yang selama ini terbungkäm, mengajarkan arti empati, keberanian, dan pentingnya menghormati perbedaan.
P. 8
Revan: (smiling slyly, trying to hide the surprise) "Wow, Mr. Tedy! We were just joking.
Nothing serious, are you?"
Pak Tedy: (menatap tajam ke arah Revan, lalu melihat ke arah Siska)
"Kadang, candaan bisa lebih menyakitkan daripada yang kalian sadari. Dan kadang, orang
yang paling lemah adalah yang merasa harus selalu terlihat kuat dengan merendahkan orang
lain."
Mr. Tedy: (stares intently at Revan, then looks at Siska) “Sometimes, jokes can hurt more
than you realize. And sometimes, the weakest people are the ones who feel the need to always
look strong by putting others down.”
Siska: (mendesis pelan, berusaha tersenyum) "Pak, kami nggak maksud apa-apa kok. Cuma
bercanda."
Siska: (hisses softly, trying to smile) “Sir, we didn't mean anything by it. It's just a joke. “asa
must always look strong by putting others down.”
Pak Tedy: (menatap ke arah Siska dengan tegas) "Candaan yang menjatuhkan orang lain,
terutama berdasarkan sesuatu yang tak bisa mereka ubah seperti warna kulit, itu bukan
candaan, Siska. Itu perundungan."
Mr. Tedy: (looking at Siska sternly) “Jokes that put people down, especially based on
something they can't change like skin color, that's not a joke, Siska. That's bullying.”
Suasana kantin hening. Semua siswa memperhatikan percakapan ini. Revan terlihat kesal,
namun tidak berani melawan langsung Pak Tedy.
The cafeteria was silent. All the students are paying attention to this conversation. Revan
looked upset, but didn't dare to confront Mr. Tedy directly.
Revan: (berusaha menjaga wibawa, tersenyum kecut)
"Kami nggak ada maksud buruk, Pak. Kalau Titus tersinggung, itu masalah dia."
Revan: (trying to maintain dignity, smiling wryly) “We have no bad intentions, sir. If Titus
takes offense, that's his problem.”
Pak Tedy: (dengan nada lebih serius)
"Revan, jangan pernah lupa, tindakan kalian mencerminkan siapa kalian sebenarnya. Dan di
sini, di sekolah ini, tidak ada tempat untuk merendahkan orang lain."
Mr. Tedy: (in a more serious tone) “Revan, never forget, your actions reflect who you really
are. And here, in this school, there is no place for putting others down.”
Pak Tedy menatap seluruh siswa di kantin, lalu kembali ke Revan dan Siska.
Mr. Tedy looked at all the students in the cafeteria, then back at Revan and Siska.
Pak Tedy: "Sekarang, saya minta kalian merenung. Besok, kita akan lanjutkan pembicaraan
ini di kelas."
4