Page 13 - Alifia Nurul Safira (22291001), Maolida Ahmalia (22290125), Khotibul Umam (22291005), M. Rizwan Hasyim (22291006) Dalam lingkungan sekolah elit yang penuh dengan tekanan sosial, enam remaja menghadapi konflik, diskriminasi, dan perundungan yang merongrong keseharian mereka. Titus, seorang siswa dengan kebanggaan akan identitasnya, berjuang untuk bersuara melawan ketidakadilan, meskipun teman- temannya seperti Amira menunjukkan sikap ambigu. Didorong oleh bimbingan Pak Tedy, seorang guru bijaksana, kisah ini mengungkap kebenaran yang selama ini terbungkäm, mengajarkan arti empati, keberanian, dan pentingnya menghormati perbedaan.
P. 13

Revan: (menyela dengan nada kesal) "Empati? Kesetaraan? Pak, kami nggak butuh itu!
               Kami baik-baik saja tanpa itu."

               Revan: (interrupting in an annoyed tone) “Empathy? Equality? Sir, we don't need that!
               We're fine without it.”


               Pak Tedy: (tetap tenang) "Itu yang kau pikir sekarang, Revan. Tapi percayalah, seiring
               berjalannya waktu, kalian akan mengerti bahwa hidup ini jauh lebih besar dari sekadar
               merasa superior. Dan ingat, dunia ini tidak diukur dari siapa yang paling keras bicara atau
               merasa paling kuat. Suatu saat, kau akan butuh orang-orang yang hari ini kau remehkan."

               Mr. Tedy: (keeping calm) “That's what you think now, Revan. But trust me, with time, you
               will understand that life is much bigger than just feeling superior. And remember, the world
               is not measured by who talks the loudest or feels the strongest. Someday, you'll need the
               people you look down on today.”


               Revan terdiam, merasa tidak bisa melawan argumen Pak Tedy, meskipun di dalam dirinya ia
               masih tidak sepenuhnya setuju. Siska tampak kesal, sementara Albi mulai merenung dalam-
               dalam.


               Revan was silent, feeling unable to counter Mr. Tedy's argument, even though inside he still
               didn't fully agree. Siska looked annoyed, while Albi began to reflect deeply.


               Pak Tedy: "Kalian boleh pergi sekarang. Tapi pikirkan baik-baik tentang apa yang kita
               bicarakan hari ini."

               Mr. Tedy: “You can leave now. But think carefully about what we talked about today.”


               Revan, Siska, dan Albi berdiri dan meninggalkan kelas. Revan terlihat kesal, Siska masih
               sinis, dan Albi tampak semakin ragu dengan tindakannya selama ini. Pak Tedy menatap
               mereka pergi, dalam hati berharap mereka akan berubah.

               Revan, Siska, and Albi stood up and left the classroom. Revan looked annoyed, Siska was still
               cynical, and Albi looked increasingly doubtful about his actions so far. Mr. Tedy watched
               them leave, silently hoping that they would change.





















                                                                                                         9
   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18