Page 17 - Alifia Nurul Safira (22291001), Maolida Ahmalia (22290125), Khotibul Umam (22291005), M. Rizwan Hasyim (22291006) Dalam lingkungan sekolah elit yang penuh dengan tekanan sosial, enam remaja menghadapi konflik, diskriminasi, dan perundungan yang merongrong keseharian mereka. Titus, seorang siswa dengan kebanggaan akan identitasnya, berjuang untuk bersuara melawan ketidakadilan, meskipun teman- temannya seperti Amira menunjukkan sikap ambigu. Didorong oleh bimbingan Pak Tedy, seorang guru bijaksana, kisah ini mengungkap kebenaran yang selama ini terbungkäm, mengajarkan arti empati, keberanian, dan pentingnya menghormati perbedaan.
P. 17

Revan: (brings his face closer to Titus, speaking in a low but threatening tone) “You see,
               Titus? Even your own friends know that you're better off keeping quiet. So, if I were you, I'd
               take their advice.”


               Revan kembali mendorong Titus dengan lebih keras, membuatnya jatuh ke tanah. Albi hanya
               melihat dari samping, semakin gelisah tapi tidak tahu harus berbuat apa. Pada saat itulah Pak
               Tedy muncul dari sudut halaman, melihat apa yang terjadi.

               Revan pushed Titus harder again, causing him to fall to the ground. Albi just watched from
               the side, getting agitated but not knowing what to do. It was at that moment that Mr. Tedy
               appeared from the corner of the courtyard, seeing what was happening


               Pak Tedy: (berbicara dengan nada keras dan tegas) "Revan! Berhenti sekarang juga!"

               Mr. Tedy: (speaking in a loud and stern tone) “Revan! Stop right now!”


               Semua orang terkejut mendengar suara Pak Tedy. Revan segera menarik diri, tampak sedikit
               cemas, namun mencoba menyembunyikan perasaan itu di balik sikap angkuhnya. Siska
               terdiam, sementara Amira menunduk, merasa bersalah. Titus bangkit perlahan, masih
               terengah-engah.


               Everyone was surprised to hear Mr. Tedy's voice. Revan immediately pulled away, looking a
               little anxious, but trying to hide those feelings behind his haughty demeanor. Siska was silent,
               while Amira looked down, feeling guilty. Titus rose slowly, still panting.

               Pak Tedy: (mendekati mereka dengan wajah serius) "Ini sudah lebih dari sekadar kata-kata.
               Kalian sekarang sudah menggunakan kekerasan. Apa yang kalian lakukan sama sekali tidak
               bisa diterima."

               Mr. Tedy: (approaching them with a serious face) “This is more than just words. You have
               now resorted to violence. What you are doing is completely unacceptable.”

               Revan: (berusaha mengelak, dengan nada defensif) "Pak, dia yang mulai dulu. Dia nggak
               pantas ada di sini. Ini urusan kami, bukan urusan Bapak."


               Revan: (trying to be evasive, with a defensive tone) “Sir, he started first. He doesn't belong
               here. This is our business, not yours.”


               Pak Tedy: (menatap tajam ke arah Revan)
               "Ini urusan saya, Revan. Ini adalah sekolah, tempat di mana setiap siswa harus merasa aman
               dan dihargai, tidak peduli dari mana mereka berasal atau seperti apa warna kulit mereka. Kau
               tidak punya hak untuk menentukan siapa yang 'pantas' berada di sini."


               Mr. Tedy: (looking sharply at Revan) “This is my business, Revan. This is a school, a place
               where every student should feel safe and valued, no matter where they come from or what
               color their skin is. You have no right to decide who 'deserves' to be here.”

               Siska: (menyela dengan nada meremehkan)
               "Pak, kami cuma mempertahankan diri. Dia yang sok berani di depan kami."




                                                                                                       13
   12   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22