Page 18 - Alifia Nurul Safira (22291001), Maolida Ahmalia (22290125), Khotibul Umam (22291005), M. Rizwan Hasyim (22291006) Dalam lingkungan sekolah elit yang penuh dengan tekanan sosial, enam remaja menghadapi konflik, diskriminasi, dan perundungan yang merongrong keseharian mereka. Titus, seorang siswa dengan kebanggaan akan identitasnya, berjuang untuk bersuara melawan ketidakadilan, meskipun teman- temannya seperti Amira menunjukkan sikap ambigu. Didorong oleh bimbingan Pak Tedy, seorang guru bijaksana, kisah ini mengungkap kebenaran yang selama ini terbungkäm, mengajarkan arti empati, keberanian, dan pentingnya menghormati perbedaan.
P. 18

Siska: (interrupting in a dismissive tone) “Sir, we were just defending ourselves. He was the
               one who acted boldly in front of us.”

               Pak Tedy: (tetap tegas) "Mempertahankan diri? Apa dengan cara memukul dan menjatuhkan
               orang lain yang tidak pernah mengancam kalian secara fisik? Itu bukan pembelaan diri,
               Siska. Itu perundungan. Kalian berdua telah melangkah terlalu jauh."

               Mr. Tedy: (still firm) “Self-defense? By hitting and knocking down people who have never
               physically threatened you? That's not self-defense, Siska, that's bullying. You two have gone
               too far.”

               Revan terdiam, meski masih tampak marah. Siska terlihat tidak peduli, namun tetap tidak
               membantah lagi. Amira menunduk, merasa bersalah, sementara Albi tampak semakin
               tertekan dengan situasi ini.

               Revan was silent, though still visibly angry. Siska didn't seem to care, but didn't argue
               anymore. Amira looked down, feeling guilty, while Albi looked increasingly distressed by the
               situation.


               Pak Tedy: (menatap Albi, yang sejak tadi diam) "Albi, kau ikut melihat ini. Mengapa kau
               tidak berbuat apa-apa?"

               Mr. Tedy: (looking at Albi, who had been silent) “Albi, you saw this too. Why didn't you do
               anything?”

               Albi: (terlihat bingung, berbicara dengan nada pelan) "Pak... aku... aku nggak tahu harus
               gimana. Aku nggak mau ribut dengan Revan. Dia teman baikku."


               Albi: (looks confused, speaks in a low tone) “Sir... I... I don't know what to do. I don't want to
               fight with Revan. He's my best friend.”


               Pak Tedy: (menatapnya dengan pandangan penuh empati) "Kadang, Albi, berdiri diam
               ketika hal buruk terjadi sama saja dengan mendukung hal itu. Kau harus mulai belajar untuk
               berdiri pada sisi yang benar, meskipun sulit."


               Mr. Tedy: (looking at him with an empathetic gaze) “Sometimes, Albi, standing still when
               bad things happen is like supporting them. You have to start learning to stand on the right
               side, even if it's hard.”


               Albi mengangguk pelan, merasa malu. Titus masih berdiri dengan kepala menunduk, merasa
               terhina, namun ada sedikit harapan setelah melihat Pak Tedy membelanya.


               Albi nodded slowly, feeling embarrassed. Titus was still standing with his head down, feeling
               humiliated, but there was a little hope after seeing Mr. Tedy defending him.

               Pak Tedy: (dengan nada lebih tenang, namun tetap serius) "Saya akan melaporkan kejadian
               ini ke kepala sekolah. Tapi sebelum itu, saya ingin kalian semua memahami satu hal: di sini,
               tidak ada ruang untuk kekerasan, rasisme, atau perundungan dalam bentuk apa pun. Mulai
               sekarang, saya akan memastikan bahwa kalian mendapat bimbingan yang tepat. Ini tidak
               akan berakhir dengan hukuman saja, tapi juga pembelajaran."


                                                                                                       14
   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23