Page 23 - Alifia Nurul Safira (22291001), Maolida Ahmalia (22290125), Khotibul Umam (22291005), M. Rizwan Hasyim (22291006) Dalam lingkungan sekolah elit yang penuh dengan tekanan sosial, enam remaja menghadapi konflik, diskriminasi, dan perundungan yang merongrong keseharian mereka. Titus, seorang siswa dengan kebanggaan akan identitasnya, berjuang untuk bersuara melawan ketidakadilan, meskipun teman- temannya seperti Amira menunjukkan sikap ambigu. Didorong oleh bimbingan Pak Tedy, seorang guru bijaksana, kisah ini mengungkap kebenaran yang selama ini terbungkäm, mengajarkan arti empati, keberanian, dan pentingnya menghormati perbedaan.
P. 23

Revan terkejut, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Siska juga tampak hancur,
               sementara Albi merasa lega karena tidak dikeluarkan, meski tetap malu dengan perannya.
               Titus akhirnya bisa bernapas lega, sementara Amira menunduk dengan perasaan bersalah.


               Revan was shocked, unable to believe what he was hearing. Siska also looked devastated,
               while Albi was relieved not to be expelled, though still ashamed of his role. Titus can finally
               breathe a sigh of relief, while Amira looks down guiltily.

               Revan: (dengan nada marah dan putus asa) "Kalian nggak bisa lakukan ini! Aku nggak akan
               pergi begitu saja!"

               Revan: (in an angry and desperate tone) “You can't do this! I won't just leave!”


               Pak Tedy: (menatap Revan dengan tegas) "Kau punya pilihan, Revan. Kau bisa menerima
               hukumanmu dengan bermartabat, atau terus menolak kenyataan dan semakin
               mempermalukan dirimu sendiri."

               Mr. Tedy: (looking at Revan sternly) “You have a choice, Revan. You can either accept your
               punishment with dignity, or continue to deny reality and further humiliate yourself.”


               Revan hanya berdiri, terdiam dan penuh kemarahan. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Siska
               menatapnya dengan ekspresi marah dan kecewa, menyadari bahwa kekuatan yang selama ini
               mereka banggakan akhirnya hancur begitu saja.


               Revan just stood there, silent and angry. He had nothing more to say. Siska looked at him
               with an angry and disappointed expression, realizing that the strength they had been proud of
               had finally been destroyed.


               Kepala Sekolah: "Rapat ini selesai. Revan dan Siska, silakan pergi dan urus administrasi
               pengeluaran kalian. Untuk yang lain, saya harap ini menjadi pelajaran penting bahwa tidak
               ada yang kebal terhadap hukum dan aturan."

               Principal: “This meeting is over. Revan and Siska, please go and take care of your
               administrative expenses. For the others, I hope this serves as an important lesson that no one
               is immune to the law and rules.”

               Revan dan Siska berjalan keluar dari ruangan, keduanya dalam diam dan penuh amarah. Albi
               menunduk, masih merasa terguncang dengan apa yang terjadi. Titus tersenyum tipis, meski
               masih terluka secara emosional, namun merasa akhirnya mendapatkan keadilan. Amira
               menghela napas panjang, merasa lega sekaligus bersalah karena tidak pernah benar-benar
               membela Titus.


               Revan and Siska walked out of the room, both in silence and anger. Albi looked down, still
               feeling shaken by what had happened. Titus smiled slightly, though still emotionally scarred,
               but feeling like he had finally gotten justice. Amira let out a long sigh, feeling both relieved
               and guilty for never really standing up for Titus.







                                                                                                       19
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28