Page 12 - Alifia Nurul Safira (22291001), Maolida Ahmalia (22290125), Khotibul Umam (22291005), M. Rizwan Hasyim (22291006) Dalam lingkungan sekolah elit yang penuh dengan tekanan sosial, enam remaja menghadapi konflik, diskriminasi, dan perundungan yang merongrong keseharian mereka. Titus, seorang siswa dengan kebanggaan akan identitasnya, berjuang untuk bersuara melawan ketidakadilan, meskipun teman- temannya seperti Amira menunjukkan sikap ambigu.
Didorong oleh bimbingan Pak Tedy, seorang guru bijaksana, kisah ini mengungkap kebenaran yang selama ini terbungkäm, mengajarkan arti empati, keberanian, dan pentingnya menghormati perbedaan.
P. 12
Revan: (mencoba menghindar, tetapi akhirnya bicara)
"Aku... aku nggak merendahkan siapa pun. Aku cuma bilang yang sebenarnya. Dunia ini
keras, dan kalau mereka nggak bisa tahan, ya mereka kalah. Itu kenyataan, Pak."
Revan: (tries to avoid, but finally speaks) “I... I'm not putting anyone down. I'm just telling
the truth. The world is tough, and if they can't take it, they lose. That's the truth, sir.”
Pak Tedy: (dengan nada lembut namun tegas)
"Dan menurutmu, itu alasan yang cukup untuk menyakiti orang lain? Untuk membuat mereka
merasa rendah? Apakah dengan itu, kau merasa lebih unggul, lebih kuat?"
Mr. Tedy: (in a soft but firm tone) “And you think that's reason enough to hurt others? To
make them feel inferior? Is that how you feel superior, stronger?”
Revan terdiam sejenak, tatapan Pak Tedy yang tajam membuatnya merasa canggung. Siska
yang dari tadi diam, tiba-tiba ikut bicara dengan nada sinis.
Revan was silent for a moment, Mr. Tedy's sharp gaze made him feel awkward. Siska, who
had been silent, suddenly spoke up in a sarcastic tone.
Siska: "Pak, menurut kami, ini masalah sederhana. Mereka lemah, kami kuat. Itu aja. Kalau
mereka merasa direndahkan, ya mereka harus lebih tegar, bukannya terus ngeluh."
Siska: “Sir, we think it's a simple matter. They are weak, we are strong. That's all. If they feel
humiliated, then they should be more resilient, not keep complaining.”
Pak Tedy: (menatap Siska dengan kekecewaan)
"Siska, kekuatan bukan diukur dari seberapa keras kita bisa menjatuhkan orang lain.
Kekuatan yang sejati justru datang dari kemampuan kita untuk mendukung, menghormati,
dan menjaga satu sama lain."
Mr. Tedy: (looking at Siska with disappointment) “Siska, strength is not measured by how
hard we can bring others down. True strength comes from our ability to support, respect and
look after each other.”
Suasana hening sejenak, sampai akhirnya Pak Tedy bicara dengan nada lebih serius.
There was silence for a moment, until Mr. Tedy finally spoke in a more serious tone.
Pak Tedy: "Saya tidak akan memberikan hukuman fisik atau administratif. Tapi kalian akan
menjalani sesi khusus setiap minggu untuk memahami apa itu empati, keberagaman, dan
kesetaraan. Kalian akan belajar bahwa di dunia ini, tidak ada satu pun orang yang lebih
berharga dari yang lain hanya karena warna kulit atau asal-usulnya."
Mr. Tedy: “I will not give any physical or administrative punishment. But you will have
special sessions every week to understand what empathy, diversity and equality are. You will
learn that in this world, no one person is more valuable than another just because of their
skin color or origin.”
8