Page 11 - Alifia Nurul Safira (22291001), Maolida Ahmalia (22290125), Khotibul Umam (22291005), M. Rizwan Hasyim (22291006) Dalam lingkungan sekolah elit yang penuh dengan tekanan sosial, enam remaja menghadapi konflik, diskriminasi, dan perundungan yang merongrong keseharian mereka. Titus, seorang siswa dengan kebanggaan akan identitasnya, berjuang untuk bersuara melawan ketidakadilan, meskipun teman- temannya seperti Amira menunjukkan sikap ambigu.
Didorong oleh bimbingan Pak Tedy, seorang guru bijaksana, kisah ini mengungkap kebenaran yang selama ini terbungkäm, mengajarkan arti empati, keberanian, dan pentingnya menghormati perbedaan.
P. 11
Revan: (replying in a defensive tone) “Sir, I'm sorry, but we don't feel wrong. If Titus is too
sensitive, that's his problem. He should be stronger, not weak like that. Besides, in the real
world, no one cares about skin or origin. What matters is who is stronger.”
Pak Tedy: (menatap Revan dengan pandangan tajam dan serius)
"Revan, kekuatan sejati itu bukan berasal dari merendahkan orang lain. Kekuatan sejati
datang dari bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan hormat, terlepas dari
perbedaan kita."
Pak Tedy lalu mengalihkan pandangan ke Albi, yang sejak tadi tampak gelisah.
Pak Tedy: (dengan nada lebih lembut)
"Albi, kau selalu mengikuti Revan ke mana pun. Apa yang kau rasakan saat semua ini
terjadi? Apakah kau benar-benar setuju dengan apa yang dia katakan dan lakukan?"
Mr. Tedy: (looking at Revan with a sharp and serious look) “Revan, true strength does not
come from putting others down. True strength comes from how we treat others with respect,
regardless of our differences.”
Albi: (terlihat bingung, tampak ragu) "Aku... aku cuma... aku nggak mau cari masalah, Pak.
Revan teman baikku, dan aku cuma... ya, cuma ikut aja. Aku nggak mau dia marah kalau aku
nggak setuju."
Albi: (looks confused, seems hesitant) “I... I just... I don't want to cause trouble, sir. Revan's
my best friend, and I'm just... yeah, just going along with it. I don't want him to get angry if I
don't agree.”
Pak Tedy: (mengangguk pelan, memahami, tapi tetap tegas)
"Albi, mengikuti sesuatu yang salah hanya karena kau takut, itu bukan tanda keberanian.
Justru keberanian adalah ketika kau berdiri untuk hal yang benar, meskipun itu tidak mudah."
Mr. Tedy: (nods slowly, understanding, but still firm) “Albi, following something that is
wrong just because you are afraid, is not a sign of courage. Courage is when you stand up
for the right thing, even if it's not easy.”
Albi menunduk, merasa bersalah, tapi tetap diam. Pak Tedy kemudian menatap Revan lagi,
yang mulai terlihat tidak nyaman dengan arah percakapan ini.
Albi looked down, feeling guilty, but remained silent. Pak Tedy then looked at Revan again,
who was starting to look uncomfortable with the direction of this conversation.
Pak Tedy: "Revan, kau punya pengaruh besar di sini. Tapi pengaruh itu bisa digunakan
untuk kebaikan atau keburukan. Mengapa kau merasa perlu merendahkan orang lain,
terutama berdasarkan hal-hal yang tidak bisa mereka ubah seperti warna kulit?"
Mr. Tedy: “Revan, you have great influence here. But that influence can be used for good or
bad. Why do you feel the need to put others down, especially based on things they can't
change like skin color?”
7