Page 10 - Alifia Nurul Safira (22291001), Maolida Ahmalia (22290125), Khotibul Umam (22291005), M. Rizwan Hasyim (22291006) Dalam lingkungan sekolah elit yang penuh dengan tekanan sosial, enam remaja menghadapi konflik, diskriminasi, dan perundungan yang merongrong keseharian mereka. Titus, seorang siswa dengan kebanggaan akan identitasnya, berjuang untuk bersuara melawan ketidakadilan, meskipun teman- temannya seperti Amira menunjukkan sikap ambigu. Didorong oleh bimbingan Pak Tedy, seorang guru bijaksana, kisah ini mengungkap kebenaran yang selama ini terbungkäm, mengajarkan arti empati, keberanian, dan pentingnya menghormati perbedaan.
P. 10

CHAPTER II

                                    AWAL KONFLIK  (BEGINNING OF CONFLICT)


                       Setelah kejadian perundungan di kantin. Pak Tedi memanggil Revan serta kawannya,
               pada saat itu ruang kelas tenga sepi karena siswa lain sedang mengikuti kegiatan di luar kelas.
               Hanya ada Revan, Siska, Albi, dan Pak Tedy yang berdiri di depan mereka. Suasana tegang,
               tapi Revan tetap berusaha menunjukkan sikap santai.

               After the bullying incident in the canteen. Mr. Tedi called Revan and his friend, at that time
               the classroom was quiet because other students were participating in activities outside the
               classroom. There were only Revan, Siska, Albi, and Mr. Tedy standing in front of them. The
               atmosphere was tense, but Revan still tried to show a relaxed attitude.

               Pak Tedy: (dengan nada tenang tapi penuh kewibawaan)
               "Kalian tahu mengapa saya memanggil kalian ke sini, bukan?"

               Mr. Tedy: (in a calm but authoritative tone)“You know why I called you here, don't you?”


               Revan: (berusaha terlihat santai, meski jelas merasa terganggu)
               "Iya, Pak. Tapi kan kami udah bilang kemarin, itu cuma bercanda. Nggak perlu diperpanjang,
               kan? Kita semua temenan di sini."


               Revan: (trying to look casual, though clearly annoyed) “Yes, sir. But we told you yesterday,
               it was just a joke. There's no need to prolong it, right? We're all friends here.”


               Siska: (menyela dengan nada angkuh)
               "Iya, Pak. Kami nggak ada niat buat menyakiti siapa pun. Kalau Titus tersinggung, itu urusan
               dia. Dia aja yang baper."


               Siska: (interrupting in a haughty tone) “Yes, sir. We have no intention of hurting anyone. If
               Titus is offended, that's his business. He's the one who's bitter.”


               Pak Tedy: (menatap tajam ke arah Siska)
               "Siska, ada garis tipis antara bercanda dan perundungan. Ketika 'candaan' kalian didasarkan
               pada warna kulit atau asal-usul seseorang, itu bukan lagi sekadar bercanda. Itu perundungan,
               dan perundungan tidak pernah diterima di sini."


               Mr. Tedy: (looking sharply at Siska) “Siska, there is a fine line between joking and bullying.
               When your 'joke' is based on someone's skin color or origin, it's no longer just a joke. It's
               bullying, and bullying is never acceptable here.”


               Albi: (merasa gelisah, tapi tetap diam, hanya melirik Revan dengan cemas)

               Albi: (feels uneasy, but remains silent, only glancing anxiously at Revan)

               Revan: (membalas dengan nada defensif)
               "Pak, maaf saja, tapi kami nggak ngerasa salah. Kalo Titus itu terlalu sensitif, ya itu masalah
               dia. Dia harus lebih kuat, bukan lemah kayak gitu. Lagipula, di dunia nyata, nggak ada yang
               peduli soal kulit atau asal-usul. Yang penting, siapa yang lebih kuat."


                                                                                                         6
   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15