Page 164 - dear-dylan
P. 164
I’m not running from
No, I think you got me all wrong
I don’t regret this life I chose for me
But these places and these faces are getting old...
Tanpa kusadari, aku menangis. Ternyata air mata yang kutahan sedari terharu di gereja tadi
nggak mau lagi dibendung. Tapi aku tersenyum, rasanya bahagia banget ada di sini, dengan Dylan
menyanyi di depan sana untukku, menyanyikan lagu yang seperti dibuat untukku, setelah semua
yang terjadi.
I just can’t believe that we survived....
“Alice, ikutan yuuukkk!” Ina menarik-narik tanganku menuju panggung. Mbak Vita bakal
melempar buket bunganya, dan cewek-cewek yang masih single pada berebut maju ke depan.
Siapa tahu mereka yang bakal menangkap buket itu, dan dalam waktu dekat akan segera
menyusul jadi pengantin.
“Ah, aku nggak deh, In... kamu aja. Aku kan bukan single, aku udah punya pacar.” Aku
meneruskan makan bistik dari piring yang kupegang. Jadi penerima tamu ternyata membuatku
sangat kelaparan! Tentu saja, aku dapat giliran makan terakhir, itu pun gantian dengan penerima
tamu yang lainnya!
“Ihh... siapa yang bilang itu buat yang belum punya pacar? Itu buat yang belum punya suami,
tau! Jadi kamu wajib ikut! Tuh lihat, Nantulang Saidah aja kayaknya ngebet banget kepingin ikut,
tapi dia kan udah nggak boleh lagi!”
Aku melongok ke depan, dan benar saja, Nantulang Saidah memandang para cewek yang
akan berebut menangkap buket bunga Mbak Vita dengan ekspresi kepingin! Benar kata Ina,
kayaknya Nantulang Saidah mau ikutan juga! Haha!
“Udah deh, kalau Alice nggak mau ya jangan dipaksa, tau! Lagian konyol banget sih, masa
siapa yang berikutnya dapat jodoh ditentukan dari buket bunga? Nggak make sense!” komentar
Tata dengan gaya sinisnya. Jelas dia nggak berniat ikutan berebut buket bunga, kalau mendengar
komentarnya itu.
“Idih, situ kalau nggak mau ikut ya udah! Nggak usah memengaruhi orang lain buat jadi
bego kayak situ dong!” semprot Ina. Tata melotot. “Yuk, Lice!”
Akhirnya aku pasrah, dan mengikuti Ina berjalan menuju bagian depan panggung. Ah, paling
juga nggak dapat bunganya, yang ikutan sebanyak ini.
Mbak Vita berjalan dengan hati-hati menaiki panggung, dibimbing Bang Tora. Dia pakai
gaun yang berbeda dengan gaun yang di gereja tadi. Tadi pagi dia pakai kebaya modern warna
putih berbordir dengan bawahan kain tenun ulos. Sekarang Mbak Vita pakai gaun putih
bermodel kemben yang potongannya sangat simpel. Untuk memudahkan bergerak, katanya.
Hmm... mungkin aku bisa menyontek ide Mbak Vita itu kalau aku menikah nanti. Siapa juga
sih yang mau berkeliling di resepsi dengan menyeret-nyeret gaun yang berat? Enakan juga pakai
gaun simpel begitu!
“...tigaaa!”
Aku melongo melihat sekelilingku, lalu mendongak, dan dengan refleks menangkap benda
yang hampir jatuh menimpa kepalaku.
HAAAHHH??? BUKET BUNGA MBAK VITA???
Aku memandang sekeliling, dan, tentu saja, mendapati semua orang menatapku dengan
ekspresi yang berlainan. Kok bisa aku yang dapat sih???