Page 159 - dear-dylan
P. 159
“Apa sih yang nggak bisa menunggu???” tanya gue nggak sabar. Kalau yang dimaksud
Bang Budy adalah Pak Leo, gue bakal menggetok kepala bos besar itu dengan keranjang
confetti yang seharusnya dibawa Christie, keponakan Mbak Vita yang berumur lima tahun,
saat jadi pengiring di pesta nanti!
Ah, tapi itu juga bakal melanggar janji gue ke Tuhan untuk jadi anak baik... masa gue
harus kehilangan Alice lagi hanya karena menggetok kepala Pak Leo dengan keranjang
confetti?!
Minta ampun deh, Pak Leo is not worth that much!
“Bang, udah deh, Abang kasih tahu aja apa yang sebegitu PENTING-nya sampai aku
harus ke sana sekarang. Kalau memang benar penting, aku bakal langsung ke sana!”
Gue sudah habis kesabaran. Bang Budy sekarang kalau ngomong suka muter-muter
nggak jelas! Suka sok rahasia, pula!
“Oke, oke. Kamu pasti mau tahu siapa dalang di balik rusuhnya konser-konser kita, kan?
Dia sudah tertangkap.”
* * *
Bang Budy kampret!
Ternyata dari kantor manajemen, kami masih harus menuju Polres Jakarta Selatan! Tahu
begini, kenapa dia nggak ngajak ketemuan di sini aja? Gue kan nggak perlu muter dulu ke
kantor manajemen!
Kayaknya Mama bakal bener-bener menghabisi gue karena terlambat ke pemberkatan
Tora nanti!
Ah, sudahlah. Jadi ngata-ngatain Bang Budy deh! Gue kelepasan! Sekarang, yang
penting, gue tahu siapa dalan di balik semua kerusuhan gila itu!
Bang Budy berjalan paling depan, sementara gue, Ernest, Dudy, Dovan, dan Rey
mengekor di belakang. Nggak ada seoran gpun di antara kami yang sudah tahu siapa orang
gila yang merancang rencana kotor itu.
Lucunya, Rey terheran-heran mengetahui gue mau datang juga dengan jas dan dasi
begini. Haha. Kayak dia lagi nggak pakai jas dan dasi aja! Semuanya kan juga lagi siap-siap
untuk ke pemberkatan Tora!
Kami berbelok di koridor yang panjang, dan sampai di ruang tunggu. Petugas polisi yang
mengantar kami keluar lagi, dan beberapa saat kemudian muncul petugas-petugas lain,
menggiring sekelompok orang.
Orang-orang yang gue lihat di rekaman video di kantor manajemen sebulan lalu.
Gue menatap mereka semua sambil menggeleng. Semuanya enam orang, dan nggak ada
satu pun yang gue kenal. Gue menoleh, dan melihat anak-anak juga memasang ekspresi
bingung. Siapa dalangnya? Yang mana?
Petugas polisi terakhir masuk, menggiring seorang lagi, dan gue melongo begitu
lebarnya sampai rahang gue terasa tergang.
HUGO????
“Brengsek lo!!!”
Gue menoleh, dan melihat Dudy sedang meronta di antara Bang Budy dan Dovan yang
berusaha menahannya untuk nggak mendekati Hugo.