Page 154 - dear-dylan
P. 154
cewek adalah makhluk yang harus dilindungi. Satu-satunya perkecualian adalah waktu gue
melabrak Noni dulu, setelah dia meneror Alice.
Gue menghela napas dalam-dalam, berusaha sabar. Kalau saja kejadian itu bukan hampir
dua bulan lalu, gue pasti sudah mengecek list incoming call di HP gue. Tapi sekarang list
incoming call itu pasti sudah terhapus panggilan-panggilan lainnya!
Bodoh, ngomong apa gue? Alice nggak mungkin bohong sama gue... dia nggak mungkin
mengarang cerita! Tanpa perlu melihat list incoming call pun, gue percaya sepenuhnya pada
kata-katanya.
Tapi gue tetap harus memaksa Regina mengaku.
“Gin, gue mohon... jawab pertanyaan gue. Apa Alice waktu itu menelepon gue? Apa
waktu itu gue tidur, dan lo menerima telepon itu? Gue menyimpan nomornya di phonebook
dengan nama „Sayang‟. Apa lo menerima telepon dari nomor itu?”
Regina terdiam, gue bisa melihat ekspresi khawatir dan ragu membias di wajahnya. Tapi
beberapa detik kemudian dia mengangguk dengan takut-takut.
Gue bener-bener merasa kepingin mati! Selama ini gue sudah menyangka Alice nggak
peduli lagi sama gue! Dan gue kecewa sama dia karena kenyataan itu! Padahal dia
menelepon... dan salah paham karena mendengar Regina yang mengangkat teleponnya...
Padahal gue dan Regina nggak ada apa-apa...
“Oh my God...” Gue menutup kedua mata gue dengan kedua belah tangan. “Kenapa
waktu itu lo nggak bilang, Gin? Kenapa lo nggak bilang Alice telepon?”
“Karena gue nggak kepingin lo tahu Alice masih peduli sama lo, Lan... Karena gue
nggak mau lo dan Alice balik lagi...,” jawab Regina dengan suara bergetar.
Hah?! Dia sengaja melakukan itu!
“Tapi kenapa???” tanya gue nggak ngerti. Gue nggak habis pikir, setelah Noni, ternyata
masih ada lagi cewek psycho yang nyasar di kehidupan gue!
“Karena gue cinta sama lo... Karena gue mau lo jadi milik gue...” Regina mulai
bercucuran air mata, dan kalau gue nggak ingat semua perbuatannya yang menyebabkan gue
dan Alice terpisah, mungkin gue bakal kasihan sama dia.
Gue tahu, dia suka sama gue. Gue tahu dia menaruh harapan, tapi gue sama sekali nggak
menyangka dia tega melakukan hal segila itu!
“Gin, lo nggak tahu apa yang lo lakukan!”
Regina menatap gue dalam-dalam, air matanya berjatuhan makin deras. “Gue tahu, Lan...
Gue tahu apa yang gue lakukan. Gue berusaha menjauhkan lo dari Alice... karena lo hanya
boleh jadi milik gue... Lo adalah pengganti Henry, pacar gue yang udah nggak ada... Gue
akan melakukan segalanya untuk mendapatkan lo...” Dia sesenggukan, dan merosot lemas
bersandar pada ambang pintu apartemennya.
Gue tercengang. “Melakukan segalanya? Gosip itu... jangan bilang lo yang melakukan
itu! Jangan bilang lo sengaja menciptakan gosip kita ada affair!”
Ada jeda kesunyian yang menusuk. Gue seolah nyaris mati menunggu jawaban Regina.
“Ya, Dylan,” akhirnya Regina menjawab, dan gue merasa baru dijatuhkan dari gedung
berlantai tiga puluh! “Gue memang melakukan itu. Gue merencanakan semuanya. Gue yang
mengatur supaya gue syuting iklan di Singapura, dan transit semalam di Batam, jadi gue
mengatur semuanya. Gue menyuruh tim cameraman gue untuk mengambil gambar gue
mencium lo di bandara di Batam. Gue menyuruh dia mengirim gambar itu pada wartawan