Page 153 - dear-dylan
P. 153

Gue memutar otak dengan cepat.
                    Pagi hari, setelah kerusuhan Jambi... gue bangun dan mendapati Regina ada di kamar
               hotel gue. Regina mengompres gue karena gue demam, dan bilan gdia bisa masuk kamar gue
               setelah  mendapat  kunci  dari  Dovan,  yang  menitipkan  gue  padanya  karena  mau  breakfast.
               Regina memberitahu gue bahwa ada korban jiwa di konser yang rusuh semalam... dan bahwa
               polisi mengimbau Skillful untuk nggak menggelar konser...
                    Dan gue ingat betul, gue mengecek HP gue karena berharap ada telepon atau SMS dari
               Alice sewaktu gue tidur, sekadar untuk menanyakan kabar gue... tapi waktu itu nggak ada!
               Nggak ada tulisan bahwa ada missed call!
                    Jadi benar, Regina mengangkat telepon dari Alice... dan Alice salah paham karena itu.
                    Tapi kenapa Regina nggak memberitahu gue bahwa Alice menelepon? Padahal waktu itu
               nomor  Alice  masih  tersimpan  di  phonebook  gue  dengan  nama  “Sayang”.  Regina  nggak
               mungkin nggak tahu itu Alice, kalau dia memang mengangkat telepon. Dan setelah itu pun
               kami membahas Alice...
                    Tapi dia nggak memberitahu gue bahwa Alice menelepon! Kenapa?
                    Dengan perasaan campur aduk gue menyadari selama ini gue sudah salah sangka pada
               Alice. Dia bukan cewek sok yang sombong dan berlagak sebodo amat pada gue setelah kami
               putus... dia masih mengkhawatirkan gue... masih peduli sama gue...
                    Tapi Regina mengacaukan semuanya. Entah dia sengaja atau tidak.
                    “Lice, boleh gue nanti ketemu lagi sama lo? Ada sesuatu yang... harus kita bicarakan.”
                    “Whatever.” Alice masuk ke rumah dan membanting pintu depan kuat-kuat.
                    Tanpa mengacuhkan wajah kaget Bu Parno yang mendengar bantingan pintu Alice, gue
               mamcu motor menuju apartemen Regina.

                                                          * * *

               “Eh, Dylan! Ayo masuk! Kok nggak bilang dulu sih kalau mau datang? Gimana kalau gue
               nggak ada di rumah?”
                    Regina  sendiri  yang  membukakan  pintu  untuk  gue  ketika  gue  memencet  bel
               apartemennya. Dia memang tinggal sendiri di sini, terpisah dari keluarganya. Dulu dia bilang
               dia kepingin mandiri. Dan waktu itu gue kagum sama dia.
                    Tapi nggak akan lagi sekarang, kalau apa yang gue curigai dari dia benar.
                    “Gin, tolong jawab, apa Alice telepon gue waktu itu?”
                    “Alice? Kapan? Ah... gue nggak ngerti maksud lo apa. Masuk dulu yuk, kita ngobrol di
               dalam.  Nggak  enak  kan  kalau  di  sini,  dilihatin orang.  Nanti  malah  digosipin  yang  nggak-
               nggak...” Regina tersenyum.
                    Tapi kali ini senyumnya membuat  gue muak. Malas rasanya masuk ke apartemennya,
               gue mau selesaikan semuanya di sini, sekarang.
                    “Gin,  jawab!  Apa  waktu  di  Jambi,  waktu  lo  datang  dan  masuk  ke  kamar  gue,
               mengompres gue saat gue demam, apa waktu itu lo terima telepon dari Alice?!”
                    Regina membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian dia bungkam.
                    “Jawab, Gin! Jawab!” Gue mengguncang-guncang bahunya.
                    “Aduuhh,  sakit,  Lan!  Lepasin!”  Regina  meronta,  melepaskan  dirinya.  Gue  berusaha
               mengatur napas. Seumur-umur, gue nggak pernah bertingkah kasar sama cewek. Buat gue,
   148   149   150   151   152   153   154   155   156   157   158