Page 152 - dear-dylan
P. 152

“Makasih,” katanya ketus, lalu berbalik akan masuk rumah lagi.
                    Gue merasa, kalau gue nggak bicara sekarang, nggak akan ada waktu lagi untuk bicara.
                    “Lice!” gue berteriak memanggilnya. Dia menoleh, menghentikan langkahnya.
                    “Apa?”
                    “Kita... kita nggak perlu seperti ini, kan? Nggak perlu bermusuhan gini, kan? Gue tahu
               kita sudah putus, tapi... apa kita nggak bisa berteman?”
                    Alice kelihatan jijik mendengar gagasan gue. “Berteman? Setelah apa yang lo perbuat ke
               gue?”
                    Oh God, dia mulai lagi! “Tapig ue sama sekali nggak mengkhianati lo, Lice! Gue nggak
               nyeleweng sama Regina!”
                    “Tapi di TV...”
                    “Alice, Alice, kalau semua yang ada di infotainment itu fakta, lebih baik kita nggak usah
               nonton  berita  lagi  deh!  Nonton  aja  infotainment!”  Tanpa  bisa  gue  cegah,  mulut  gue
               menyerocos.
                    Alice mendengus. “Oke, kalaupun itu nggak bener, gue tetep nggak percaya lo nggak
               selingkuh sama Regina!”
                    “Kenapa?”
                    Alice mendengus lagi. “Masa sih, orang yang nggak ada apa-apa, bisa bersama di luar
               kota? Bisa satu kamar hotel?”
                    Gue bener-bener nggak ngerti Alice ngomong apa! “Apa maksud lo? Gue satu kamar
               hotel sama Regina?! Gosip apa lagi itu?! Kapan? Di mana?!”
                    “Sudahlah, Lan, nggak usah pura-pura. Gue sudah bisa terima semuanya kok. Gue sadar
               gue nggak pantas buat lo. Regina lebih pantas...”
                    “Kapan gue sekamar sama Regina? Kapan? Di mana?” desak gue. Mungkin gue sudah
               marah dan nggak peduli lagi, tapi gue nggak bisa terima gitu aja kalau ada gosip gila begitu
               tentang gue!
                    “Oke, kalau lo masih nggak mau ngaku! Setelah kerusuhan konser lo di Jambi, paginya
               gue menelepon lo. Katakanlah... gue masih kepingin tahu keadaan lo walaupun kita nggak
               ada hubungan apa-apa lagi. Tapi lo tahu, gue mendapati Regina yang mengangkat telepon
               itu! Coba jelaskan, kalau lo dan Regina memang cuma ketemu di bandara di Batam, kalau
               memang lo nggak ada apa-apa sama Regina, kenapa bisa dia yang mengangkat telepon dari
               gue, padahal  saat  itu masih  pagi? Apa lagi  yang bisa menjelaskan itu,  kecuali lo  sekamar
               sama dia, dan dia yang mengangkat telepon dari gue, karena lo masih tidur?”
                    Belum pernah dalam hidup gue, gue begitu shock sampai mau mati!
                    “Lo... lo telepon gue? Setelah kerusuhan di Jambi???”
                    “Yah. Kebodohan terakhir yang gue lakukan. Mengkhawatirkan lo,” jawab Alice dengan
               tampang tak suka.
                    Gue mendengar bunyi kemeresak, dan dengan kaget melihat Bu Parno, tetangga sebelah
               rumah Alice, mengintip kami dari balik tembok pembatas rumah!
                    Oh, dasar tukang gosip!
                    “Lo menelepon gue, dan yang mengangkat telepon itu... Regina?”
                    “Nggak usah lo ulang deh. Itu nggak mengubah apa-apa!” Alice terlihat jengah. Mungkin
               dia juga risih karena diintip tetangganya yang tukang gosip itu.
                    “Tapi...”
   147   148   149   150   151   152   153   154   155   156   157