Page 104 - Aku dan Ana
P. 104
“Hemm.”
“Menurutku, kita boleh saja menyukai, tapi
jangan bodoh. Katanya anak sekolahan, tapi
kenapa masalah gini aja nggak bisa dilawan.”
“Hadeh, di sekolah mana ada belajar
menahan perasaan.”
“Oh, nggak ada ya? hahaha.”
Ketika Ana mengatakan hal itu, aku menoleh
ke arahnya sembari melemparkan senyuman
disertai tarikan nafas sedang. Lagi-lagi Ana
memberiku kopi tanpa gula, sangat pahit.
Berulang kali ia melemparku dengan
kenyataan-kenyataan yang sangat menampar.
Aku hanya bisa terdiam mendengarkannya,
karena apa pun yang dia katakan adalah
kenyataan yang memang harus kuterima tanpa
debat lagi.
"Terima kasih, Ana."
99
Aku dan Ana | Nur Wahid