Page 15 - Sampul Terkepung
P. 15
Hati Didin berdegup kencang. Bertambah kencang.
Saatnya ia menjalankan tugas. Namun, ternyata untuk
menggerakkan kaki satu langkah ke depan saja itu tidak
mudah. Kakinya seakan ada yang memegangi. Berat.
Sungguh berat.
Usaha keras Didin ternyata tidak sia-sia.
Keberanianlah yang menuntunnya untuk melangkah.
Walau susah, ia terus berusaha. Ya, satu langkah ke
depan. Obor yang ada di tangan kanannya diacungkan
ke udara.
“Cinta alam dan kasih sayang …,” kata-katanya
terhenti sampai di situ. Rasa gugup menyergap.
Mengacaukan semua ingatannya. Pikirannya kosong.
Didin lupa kata-kata berikutnya.
“Ha…ha…ha…,” tawa teman-temannya yang
lain. Anak-anak yang melihat latihan itu dari pinggir
lapangan pun ikut tertawa. Suasana menjadi riuh.
“Tolong, jangan ditertawakan!” pinta Kak Indri.
“Belum tentu yang tertawa kalau ditunjuk bisa lebih
baik,” lanjut Kak Indri mengingatkan.
Suasana berangsur tenang kembali. Anak-anak
yang berada di pinggir lapangan saling mengingatkan
temannya untuk diam. “Ssstt…!” kata mereka sambil
memberi tanda dengan meletakkan jari telunjuk tangan
kanan tepat di tengah bibir.
3