Page 20 - Sampul Terkepung
P. 20

anak  penggalang  itu  telah  dihamburkan  ke  angkasa.

                 Anak-anak  lalu  diperintahkan  kembali  ke  tenda  untuk
                 istirahat. Besok pagi masih ada sederetan acara yang
                 harus mereka jalani. Termasuk penjelajahan alam.

                      Kegiatan  seharian  penuh  membuat  anak-anak
                 lelah.  Rasa  capek  itu  menjadikan  tidur  mereka  lelap.
                 Bahkan, Galih dan Farid, teman setenda Didin terdengar

                 mendengkur. Anak-anak tak lagi menghiraukan betapa
                 nyamuk-nyamuk  lapar  itu  menghisapi  darah  mereka.

                 Padahal  nyamuk-nyamuk  kurus  itu  kalau  menggigit
                 terasa  gatal-gatal  panas  di kulit.  Namun,  Didin  tak
                 sanggup memejamkan mata. Entah mengapa. Ada penat

                 yang menyergap. Tapi, ia tetap tak bisa terlelap.
                      Kalimat  “Cinta alam dan  kasih sayang sesama

                 manusia” itu terus berngiang di telinganya. Berulang.
                 Terus berulang. Bergema. Gendang telinganya seperti
                 lorong goa. Suara itu menyatu ke seluruh jiwanya.

                      Suara itu bertukar dengan bayang-bayang ayahnya
                 yang telah tiada. Walau hanya buruh kuli pemecah batu,
                 laki-laki itu selama hayatnya sangatlah menyayanginya.

                 Mungkin  karena  kualitas  udara  di  tempat  tinggalnya
                 buruk,  ayahnya  menderita  penyakit  Ispa akut  seperti
                 beberapa  tetangga  lainnya.  Debu-debu  dari  puluhan

                 jubung yang ada di desa itu, turut memperparah sakit
                 ayahnya.




                                               8
   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25