Page 24 - Sampul Terkepung
P. 24

“Putih semua, Pak!” kata Didin.
                      “Apanya yang putih semua, Din?” tanya Pak Habib

                 minta penjelasan.
                      “Em…  daun-daun  dan  genteng  rumah  Pak, yang
                 tampak putih!” terang Didin.
                      “Kenapa Din, kira-kira kok tampak putih?”
                      “Kena debu dari jubung, Pak!”

                      “Ha...ha…ha…,” gelak tawa anak-anak lainnya.
                      “Ya, mesti, to Din. Masak kena bedak!” ledek Ruki.
                      Sejak  naik  kelas  enam dulu,  Ruki tampaknya
                 memang kurang suka kepada Didin. Terakhir, peringkat
                 kelas  dari  tangannya  direbut  oleh  Didin.  Mungkin  di
                 dalam perasaannya, anak dari kuli batu di jubung milik

                 ayahnya, Haji Bibit itu tidak pantas untuk menyandang
                 predikit  terbaik di kelas  enam.  Jadi, dalam setiap
                 kesempatan, Ruki sering memancing emosi Didin.
                      “Daripada kamu tidak menjawab,” timpal Didin.

                      “Apa kamu?” tantang Ruki sambil melotot ke arah
                 Didin.
                      “Apa!” sahut Didin tak mau kalah.
                      “Hai, sudah…sudah… Didin dan Ruki, diam! Jangan
                 ribut!” pinta Pak Habib.
                      Kedua anak itu menuruti perintah guru kelasnya.

                 Keduanya menundukkan wajah.
                      “Anak-anak,  itulah  kondisi  lingkungan  tempat
                 tinggal kita. Semakin gersang dan tandus. Setiap saat
                 perbukitan  itu  terus  digali  sebagai  bahan  baku  batu




                                              12
   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29