Page 73 - MODUL 3
P. 73
“Nin! Dapat berapa hari ini?” tanya Dea, teman mengamenku.“Tidak banyak, De.
Cuma dapat 10 ribu, apa cukup buat beli obat Emak? Padahal.. sudah dari tadi pagi
kita mengamen.” kataku. “Alhamdulillah, Nin. Aku dapat 20 ribu, 10 ribunya
untukmu, ya! Emakmu harus cepat sembuh.. Ini ambilah!” kata Dea, dengan
senyum manisnya. “Tidak ah De, keluargamu bagaimana?” tanyaku sungkan. “Aku
masih ada cukup uang di celenganku. Lagipula, persediaan nasi di rumah juga
masih ada, kok Nin!” jawab Dea. “Kamu juga sudah banyak menolongku.”
lanjutnya.
Aku tercengang mendengar perkataan Dea. “Apa kamu yakin, De?” tanyaku.
“Tentu! Cepat ke apotek, kasihan Emak. Sebentar lagi sudah larut, lho. Aku juga
mau pulang.” kata Dea, sambil menyerahkan uang kepada ku. “Terimakasih,
De. Insyaallah aku akan menggantinya secepat mungkin.” kataku sambil berlari
meninggalkan Dea, menuju apotek.
Sesampainya di apotek, aku segera menanyakan obat untuk Emak. Ternyata, harga
obat tersebut Rp. 18.000. Berarti, tidak cukup untuk membeli beras. Aduh, besok
pagi Emak makan apa? Nanti.. Emak tambah sakit karena nggak makan. Aku
melongo sendiri, dan membuat Apotekernya kesal. “Jadi beli atau enggak?” kata
Apoteker. “I.. Iya.” kataku sambil menyerahkan uang. Seusai beli, aku pun segera
kembali ke rumah. “Huh, apa semua orang kaya kasar seperti itu?” gumamku dalam
hati. “Emak.. Emak.. ini Nina belikan obat. Emak harus minum obatnya, biar lekas
sembuh.” kataku. “Terimakasih, Nak.” kata Emak, yang terus batuk tiada henti.
Emak ingin sekali membantumu bekerja. “lanjut Emak. “Sudahlah, Mak. Biar Nina
saja yang bekerja. Emak hanya perlu istirahat.” kataku, sambil memijat kaki Emak.
“Sekarang, Emak tidur, ya! Sudah malam.” kataku sambil menyelimuti Emak
dengan selimutku.
Akupun segera menuju kamar kecil kumuhku. Aku hanya dapat memandangi
langit-langit kamarku yang bocor. Jujur saja, aku tidak dapat tertidur lelap dengan
mudahnya. Kalau tidak bisa tidur, aku selalu membaca buku gratis yang aku pinjam
dari Perpustakaan kecil di dekat rumahku, atau menulis puisi. Ya, dengan
penerangan sederhana dari lampu minyak. Emak belum sanggup untuk membayar
listrik.
Keesokan harinya, aku segera pamit ke Emak untuk bekerja. Aku pun mulai
mengamen bersama Dea, seperti biasanya. Hasil mengamen juga sedikit seperti
biasanya. “Aku ingin sekali bersekolah, aku tidak mau selamanya mengamen..”
gumamku.
“Aku juga, Nin! Bagaimana, kalau kita pergi ke SMP di sana? Kita kan bisa ikut
mendengarkan dari luar.” ajak Dea. Aku pun mengangguk. Ya, sejak hari tu, aku
dan Dea selalu menyempatkan waktu untuk bersekolah “diam-diam”. Tentunya
dengan rasa takut diusir oleh Pak Satpamnya, hehe.
Suatu hari, aku bertemu dengan seorang perempuan bernama Melline. Perempuan
itu ramah sekali, dan mengajakku dan Dea berteman. Melline selalu meminjamkan
buku pelajaran kepadaku, juga Dea. Melline juga selalu belajar bersama kami di
waktu istirahat. Aku senang sekali, bisa terus mencari ilmu sambil bekerja untuk
Emak. “Nina.. Dea.. Apa kalian tidak bersekolah? Kalian
68