Page 25 - BUKU AJAR BAHASA INDONESIA KELAS XII - FARRAH, RAHMAH, RYANA
P. 25

Ia  tahu  pikirannya  tidak  kacau.  Hatinya  masih  dapat  menilai,  mantra  yang
                        diucapkan oleh  Belakangka dalam Sansekerta  mengandung  banyak kesalahan ucap
                        dan bahasa. Lima tahun yang lalu pun ia berumur sebelas waktu itu ia sudah mampu
                        menyalahkan, apalagi sekarang. Ia tak bisa terima perkawinan semacam ini: seorang
                        brahmani harus membasuh kaki seorang sudra yang disatriakan. Dan ayahnya, serang
                        brahmana  terpelajar, merasa tidak perlu untuk menengok.

                               Empat  puluh  hari  ia  telah  membisu.  Hanya  itu  yang  ia  bisa  perbuat  untuk
                        melawan Tunggul Ametung.

                               Menghadapi  peraduan  begini,  dengan  Gede  Mirah  dan  Rimang  terus  juga
                        mencoba  menghiburnya,  ia  teringat  pada  suatu  cerita  pokok  tentang  perkawinan
                        antara wanita kasta brahmana dengan seorang pria kasta satria. Ayahnya, Mpu Parwa
                        yang menceritakan padanya dalam suatu pelajaran tentang tata tertib triwangsa.

                               Pada suatu kali di tahun 1107 Saka Sri Ratu Srenggala Jayasaba dari Kediri
                        mangkat.  Pertentangan  terjadi  dalam  istana  siapa  yang  harus  dinobatkan.  Raden
                        Dandang Gendis melarikan diri dari istana ke Gunung Wilis. Di sana ia jatuh cinta
                        pada gadis anak brahmana Resi Brahmaraja bernama Amisani.
                               Waktu itu Dedes menerimanya hanya sebagai pelajaran sejarah, dan sekarang
                        ini ia baru mengerti, semua itu peringatan pada dirinya untuk tidak menerima lamaran
                        dan suami seorang dari kasta satria. Ia sesali dirinya sendiri mengapa ia baru sekarang
                        ini mengerti makna cerita itu. Dan bagaimana cerita itu selanjutnya.

                               Resi Brahmaraja tidak menyetujui percintaan itu. Amisani ini, kata sang Resi,
                        hanya  gadis  desa,  tidak  layak  mendampingi  Tuan  jadi  Paramesywari,  duduk  di
                        singgasana  di  kemudian  hari.  Tapi  cinta  telah  membutakan  Dandang  Gendis.  Ia
                        menjawab: Jika aku disuruh memilih antara Amisani dan mahkota, sekarang juga aku
                        dapat katakan, aku pilih Dewi Amisani.

                               Resi  Brahmaraja,  yang  mengenal  betul  kehidupan  istana,  meminta    pada
                        Dandang  Gendis  untuk  memikirkannya  kembali,  jangan  sampai  hati  tertutup  oleh
                        nafsu.  “Anakku,  Tuan,  aku  tahu,  dia  lebih  berbahagia  hidup  di  Gunung  Wilis  ini
                        daripada di istana.”

                               Dandang  Gendis  tak  dapat  dibelokkan  kemauannya.  Perkawinan
                        dilangsungkan. Tiga tahun ia tinggal di padepokan Resi Brahmaraja. Pada suatu hari
                        datang  dari  Kediri  ke  Gunung  Wilis  Mpu  Tanakung  dan  adiknya  sendiri,  Mahisa
                        Walungan.  Mereka  datang  menjemputnya  untuk  dinobatkan  jadi  raja  Kediri.  Ini
                        terjadi pada tahun 1110 Saka. Ia tidak lain daripada Sri Kretajaya yang memerintah
                        Kediri sekarang.

                               Di istana, Amisani, si anak desa, tidak disukai oleh para putri istana. Orang
                        pun memasang racun untuk membunuhnya. Amisani akhirnya mati termakan racun
                        itu.
                               Dedes  terbangun  dari  renungannya.  Ia  kini  sedang  mengulangi  kisah  hidup
                        Amisani. Ia mengerti di Tumapel tersedia banyak racun untuk melenyapkannya dari
                        muka bumi. Aku tidak harus mati karena racun, ia yakinkan dirinya sendiri, yang lain
                        bisa, Dedes tidak! Ia harus hidup. Ia masih akan bersimpuh pada kaki muka Tunggul
                        Ametung, badan dan tangan sebagai awal upacara.

                               (Sumber : Toer, Pramoedya Ananta. 2002.  Arek Dedes. Yogyakarta: Hasta
                        Karya).












                                                                21
   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30