Page 123 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 123

Abu Hanifah





               Dr. Abu Hanifah Dt. Marajo Emas atau Dt. Marajo Ameh, yang lebih dikenal dengan nama panggilan
               Abu Hanifah, merupakan salah satu menteri Kabinet Hatta pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS),
               yang menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (PP&K). Jabatan itu berakhir setelah
               RIS dinyatakan bubar. Dengan demikian ia menjadi Menteri PP&K pertama dan terakhir pada era RIS,
               yang dijabat sejak tanggal 19 Desember 1949 sampai dengan 6 September 1950. Masa jabatan itu relatif
               lama jika dibandingkan dengan umumnya masa jabatan para menteri PP&K sebelumnya.

               Nama Abu Hanifah lebih akrab atau dikenal sebagai dokter yang aktif dalam politik pergerakan
               kebangsaan dan rajin menuliskan buah pikiran dan pengalamannya, baik berupa buku maupun artikel-
               artikel pendek yang dimuat dalam berbagai media, seperti majalah Soematranen Bond, Pemuda Indonesia,
               dan Indonesia Raya.

               Abu Hanifah dilahirkan pada tanggal 6 Januari 1906, yang bertepatan dengan tahun 1327 Hijrah (H),
               di Padang Panjang, suatu kota kecil yang terletak di daerah perbukitan antara kota Padang dan kota
               Bukittinggi, di antara dua gunung yang menjulang tinggi ke angkasa, yaitu Gunung Merapi dan Gunung
               Singgalang, Sumatera Barat. Menurut penuturan masyarakat, Padang Panjang merupakan daerah darek
               alam Minangkabau, yang berarti ‘daerah asal pusat kebudayaan Minangkabau yang terletak di daerah
                         1
               pedalaman’.  Ayahnya bernama Ismail gelar Datuk Manggung, seorang guru bahasa Melayu. Ia paman
 Masa Jabatan  Prof. Dr. Moh. Ali Hanifah, yang dikenal sebagai pembina palang merah Indonesia, sedangkan ibunya
               bernama Fatimah Zahra.
 20 Desember 1949 - 6 September 1950
               Abu Hanifah merupakan anak pertama dari perkawinan Ismail gelar Datuk Manggung dengan Fatimah
               Zahra. Ia mempunyai lima orang adik, yaitu Nursiah Dahlan, Ahmad Munandar, Kartini, Siti Nuraini,
               dan Usmar Ismail. Adik bungsunya ini kemudian dikenal masyarakat Indonesia sebagai aktivis dan
               pembina perfilman Indonesia.

               Sebagai seorang guru pada Opleiding School tot voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Bukittinggi,
               Ismail, ayah Abu Hanifah, merupakan orang terpandang di lingkungan masyarakatnya pada waktu itu. Ia
               seorang datuk yang menjadi penghulu negeri. Sebagai guru ia sering berpindah-pindah tempat, sehingga
               anak-anaknya—termasuk Abu Hanifah—terpaksa pula sering berpindah-pindah sekolah sesuai dengan
               tempat penugasan ayahnya, misalnya  bertugas  di Makassar. Oleh karena  jabatan ayahnya  ia  dapat
               masuk menjadi murid pada Europeesche Lagere School (ELS) di kota Makasar, tetapi baru berhasil
               menyelesaikan sekolah ELS-nya di Bandung pada masa ayahnya ditempatkan di kota itu—yang pada
                                                     2
               waktu itu dikenal sebagai “kota kembang”.  ELS pada dasarnya diperuntukkan bagi orang-orang Eropa
               dan yang dipersamakan dengan orang Eropa.

               Setamat dari ELS Abu Hanifah meneruskan pendidikan formal ke School tot Opleiding Voor Inlandsche
               Artsen  (STOVIA/Sekolah  Pendidikan  Kedokteran  Untuk  Kaum  Pribumi).  Pada  bulan-bulan  awal
               masa pendidikannya di sekolah kedokteran itu ia mengalami masa “penggojlogan” mental dari para
               seniornya, mirip dengan masa prabakti (Mapras) pada awal pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)
               atau Mapram di perguruan tinggi pada awal Orde Baru. Alasannya agar para calon dokter mempunyai
               ketahanan  fisik  dan  kematangan  mental  yang  sangat  diperlukan  oleh  seorang  dokter.  Para  pelajar
               STOVIA sering dipanggil dengan sebutan “cleve”. Entah karena salah dengar atau sulit mengucapkan
               kata tersebut, sebutan kepada para calon dokter Jawa ini berubah menjadi “klepek”.

               Lama Pendidikan di STOVIA 10 tahun, yang dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan masa
               persiapan, yang disebut voorbreidende afdeling (VA), dengan lama pendidikan tiga tahun. Tahap kedua
               khusus kedokteran, yang disebut geneeskundige afdeling (GA), berlangsung selama 7–8 tahun.




 110  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  111
   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127   128