Page 127 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 127

Abu Hanifah (No.2
 dari kanan, berpeci)
 sebagai Menteri
 PP&K pada Kabinet
 Hatta di era RIS
 (Sumber: buku Prof.
 Dr. Abu Hanifah
 Dt, ME: Karya dan   berdampak positif di kalangan pemuda setempat. Kesadaran pemuda setempat tentang pentingnya
 Pengabdiannya)
               belajar dan tentang pergerakan demi kemajuan bangsa semakin meluas di kalangan pemuda pribumi.
               Oleh karena itu pula sewaktu pada tahun 1926 digagas penyelenggaraan Kongres Pemuda yang pertama
               kali kalangan pemuda menyambut luar biasa; bahkan dikatakan selangkah lebih maju dibandingkan
               dengan kaum pergerakan nasional yang lebih senior yang bergabung dalam organisasi sosial-politik,
               seperti BO, SI, Al-Irsyad, PKI, dan Muhammadiyah.

               Kerapatan Besar Pemuda, yang lebih dikenal dengan sebutan Kongres Pemuda, pertama kali diselenggarakan
               pada tanggal 30 April–2 Mei 1926 di Gedung Setan (Kimia Farma), Vrijmetse Laar (sekarang Jl. Budi
               Utomo No. 1). Meskipun Kongres tidak berhasil menyatukan seluruh organisasi pemuda seperti yang
               diharapkan, namun kongres berhasil merumuskan “Ikrar Pemuda” yang kelak dibacakan pada Kongres
               Pemuda kedua pada 28 Oktober 1928. Satu hal perlu dicatat dan tidak banyak diketahui bahwa Kongres
               Pemuda inilah yang sebenarnya menggodok kelahiran “Bahasa Indonesia”. Pada waktu-waktu sebelumnya
               masyarakat memang tidak mengenal Bahasa Indonesia. Yang mereka kenal adalah Bahasa Melayu. Karena
               itu dalam draf pertama “Ikrar Pemuda” yang disusun Moh. Yamin susunannya sebagai berikut:

 Keberhasilan Abu Hanifah dan istrinya mendidik dan membesarkan anak-anaknya membuat
 keluarganya sering dijadikan contoh tauladan oleh masyarakat sekitar, terutama saudara-saudaranya
 di Padang Panjang atau Batusangkar. Karena sifat kepemimpinannya akhirnya ia dipilih menjadi kepala
 suku Pisang (salah satu suku Minangkabau). Di dalam suku Pisang terdapat empat rumpun keluarga,   Pertama  Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe
 yang masing-masing diwakili oleh seorang datuk. Keempat datuk ini bersama tetua-tetua kampung   bertoempah darah jang satoe, Tanah Indonesia
 melakukan musyawarah memilih Abu Hanifah menjadi kepala suku Pisang. Oleh karena itu, berdasarkan
 permusyawaratan adat dalam suku Pisang, pada tahun 1936 Abu Hanifah dijemput ke Kuantan. Ia dipilih   Kedoea   Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe
 menjadi “Datuk Maharajo Amah” atau “Datuk Maharajo Emas”. Dengan “jabatan” itu dirinya diserahi   berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia
 tanggung jawab sebagai kepala suku.

                           Ketiga     Kami Poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng
 TERJUN KE DUNIA POLITIK              bahasa persatoean, Bahasa Melajoe

 Selama belajar di STOVIA  Abu Hanifah  sering bertemu dan berdiskusi dengan beberapa pelajar
 progresif yang kritis terhadap lingkungannya, terutama terhadap nasib bangsanya, seperti Sutomo,
 M. Suradji, Gunawan Mangunkusumo, dan Moh. Soleh. Pembicaraan dan diskusi itulah yang membuat   Tabrani tidak setuju dengan urutan yang ketiga karena dinilai tidak elok. Pada bagian pertama dan
 Abu Hanifah semakin tertarik pada perjuangan atau politik pergerakan kebangsaan. Ia mengagumi   kedua yang menyangkut tanah tumpah darah dan bangsa dengan ikrar “Indonesia”. Mengapa giliran
 bagaimana Sutomo, Gunawan, dan yang lain begitu cepat menangkap ide-ide dr. Wahidin Sudirohusono   yang ketiga yang menyangkut bahasa, bunyi ikrarnya “Melayu”? Mohammad Yamin sempat memberikan
 yang mengunjungi para pelajar STOVIA dalam perjalanan keliling untuk membentuk studie fond. Seperti   alasan mengapa menggunakan “Melayu” pada ikrar ketiga: realitasnya pada waktu itu belum ada bahasa
 sudah banyak dipublikasikan dalam beberapa karya sejarah, studie fond kelak akan digunakan untuk   Indonesia, dan berdasarkan hasil perbincangan yang berpotensi menjadi bahasa persatuan adalah
 membantu kaum muda yang berbakat penerima bantuan itu agar dapat menuntut ilmu—yang hasilnya   bahasa Melayu. Terhadap argumentasi Yamin, Tabrani kembali bertanya, apakah realita waktu itu sudah
 kelak—menjadi  pemimpin  yang  mampu  “memerintah  diri  dan  bangsanya  sendiri”. Ide  Wahidin  ini   ada bangsa Indonesia dan tanah air Indonesia? Kalau bangsa dan tanah air Indonesia bisa diciptakan,
 kemudian mendorong para pemuda pelajar STOVIA mendirikan organisasi Boedi Oetomo (BO). Ia   mengapa bahasa Indonesia tidak. Kita adakan bahasa Indonesia yang basisnya bahasa Melayu, yang
 merasa bangga karena semasa belajar di STOVIA dapat bertemu dengan para pendiri BO. Semasa di   kelak akan berkembang dan terus berkembang melalui penyerapan kosa kata dari berbagai bahasa suku
 STOVIA pula ia mendengar perjuangan Sarikat Islam (SI) dan Indische Partij (IP) yang jajaran pimpinannya   bangsa yang ada di Indonesia. Sementara bahasa Melayu tetap berkembang sebagai bahasa Melayu.
 merupakan pendiri BO, yakni Gunawan Mangunkusumo (SI) dan Cipto Mangunkusumo (IP).
               Kemudian kedua orang ini meminta pendapat dari dua orang yang juga dikenal sebagai orang-orang
 Ketertarikannya terhadap pergerakan kebangsaan membuat Abu Hanifah lebih mudah bergaul dengan   yang paham dalam hal kebahasaan. Pertama, Djamaloeddin, yang ternyata condong kepada pendapat
 para pemuda pelajar lain yang telah menjadi aktivis pergerakan kebangsaan. Akhirnya ia ikut bergabung   Yamin. Kedua, Sanusi Pane, yang  ternyata  setelah berpikir sependapat dengan Tabrani, sehingga
 menjadi anggota Jong Sumatranen Bond (JSB), yang setelah Kongres Pemuda pertama berubah nama   dengan pendapat ini skor menjadi seimbang. Akhirnya mereka sepakat masalah ikrar pemuda itu
 menjadi “Pemuda Sumatera”. Dalam organisasi ini ia bertemu kembali dengan teman satu daerah,   dibawa ke kongres berikutnya agar Yamin—yang mereka kenal sebagai ahli bahasa—lebih leluasa
 seperti Moh. Yamin dan Bahder Djohan. Bersama-sama mereka pula, kalau pulang liburan ke kampung   mempelajarinya. Ternyata dalam Kongres Pemuda ke II yang diketuai oleh Sugondo Joyopuspito konsep
 atau daerah masing-masing, menyempatkan diri mempropagandakan organisasinya kepada kalangan   ikrar pemuda langsung dibawa ke sidang pleno dan secara aklamasi diterima. Susunannya seperti yang
 pemuda setempat, sekaligus menjelaskan tujuan perjuangan. Aktivitas  mereka  seperti itu terbukti   telah diperdebatkan dalam Kongres Pemuda yang ke I sebagai berikut: 4




 114  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  115
   122   123   124   125   126   127   128   129   130   131   132