Page 193 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 193
Soewandi Notokoesoemo
R.M. Soewandi Notokoesoemo lahir pada tanggal 25 Desember 1904. Ia lulusan Techinsche Hoogeschool
(THS) Bandung pada tahun 1936. Pada masa pendudukan Jepang ia sempat bekerja sebagai pengajar
di Bandoeng Kogyo Daigaku (Technische Hoogeschoolte Bandoeng) dengan mengampu mata kuliah
Ilmu Bangunan.
Sesudah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, disusul kemudian dengan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, para mahasiswa Bandoeng Kogyo Daigaku
bertindak cepat melucuti dosen-dosen berkebangsaan Jepang dan menahan mereka di rumah
masing-masing. Praktis sejak itu urusan Bandoeng Kogyo Daigaku, yang namanya kemudian diubah
menjadi Sekolah Tinggi Teknik Bandung, dipegang oleh pada dosen dan tenaga kependidikan bangsa
Indonesia. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Doktor Honoris Causa di Institut Teknologi
Bandung (ITB) pada tanggal 25 Maret 1977 ia menyebutkan bahwa pada 27 Agustus 1945 di ruang
Aula Bandoeng Kogyo Daigaku (Aula Barat ITB) terjadi serah terima Bandoeng Kogyo Daigaku dari
bala tentara Jepang kepada Pemerintah Republik Indonesia (RI). Satu kelompok insinyur Indonesia
yang mempunyai cita-cita Indonesia merdeka, seperti Soenaryo, Soewandi, Abidin dan Rooseno
berinisiatif mengambil alih perguruan itu yang praktis baru berdiri satu minggu untuk kemudian
diserahkan kepada Pemerintah RI.
Masa Jabatan Tak lama setelah itu kegiatan Bandoeng Kogyo Daigaku dibuka kembali namun dengan nama yang
12 Agustus 1955 - 24 Maret 1956 telah diindonesiakan, yaitu Sekolah Tinggi Teknik Bandung (STT Bandung), di bawah pimpinan
Prof. Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo dengan dibantu oleh Ir. R. Goenarso, Ir. R.M. Soewandi
Notokoesoemo, Ir. Soenarjo, dan Sutan Muchtar Abidin. Menurut Prof. Rooseno, “Modal kerja pada
saat itu hanya nasionalisme yang berkobar-kobar, antusiasme, devotion, untuk memulai pendidikan
teknik di Indonesia. Suatu tugas berat di atas pundak para insinyur. Pada saat itu hanya ada 170 insinyur
di Indonesia. Apa mungkin 170 gelintir insinyur mengurus pekerjaan teknik dalam negara RI yang
berdaulat dengan penduduk 90 juta?” 1
Apa yang disampaikan oleh Prof. Rooseno memang tidak berlebihan. Dalam situasi politik yang tidak
kondusif berikut sarana dan prasarana pendidikan yang sangat terbatas, para insinyur sebagaimana
disebutkan oleh Prof. Roosseno itu berani membuka tiga program studi, yaitu Bagian Bangunan Jalan
dan Air, Bagian Kimia, serta Bagian Mesin dan Teknik Elektro dengan lama pendidikan empat tahun.
Jumlah program studi itu sama persis dengan yang ditawarkan oleh Techinishe Hoogeschool pada
zaman Kolonial Belanda dan Bandoeng Kogyo Daigaku zaman Pendudukan Jepang. 2
Ada satu hal yang menarik dari para mahasiswa STT Bandung, yaitu acara “Ikrar Bersama” di hadapan dua
orang anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Otto Iskandardinata dan Ir. M.P. Soerachman
Tjokrohadisoerio (yang kemudian menjadi Presiden Universitas Indonesia yang pertama), sebelum
berangkat ke Jakarta untuk menghadiri rapat Pleno KNIP pertama tanggal 16–17 Oktober 1945 di
Balai Muslimin Jakarta. Dalam ikrar itu para mahasiswa bertekad tidak sudi kembali ke kampus selama
kemerdekaan penuh bangsa Indonesia belum tercapai. Mereka bersedia dan rela mengorbankan jiwa
3
dan raga bagi kemerdekaan bangsa.
Sekitar dua bulan kemudian ternyata situasi politik memaksa para mahasiswa harus meninggalkan
kampus. Mulai bulan November 1945 kegiatan perkuliahan terpaksa dibubarkan, meskipun kegiatan
kantor administrasi di bawah Sutan Muchtar Abidin dan Soenarjo tetap berjalan. Situasi dalam kota
Bandung sudah tidak aman bagi para civitas akademika STT Bandung karena NICA dengan para
serdadunya masuk ke kota Bandung. Pada tanggal 6 Januari 1946 akhirnya kantor STT Bandung
180 MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018 MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018 181