Page 22 - Motherless World
P. 22
"Tidak. Tidak ada yang akan menghidupkan mereka kembali. Aku tahu itu. Tapi aku bisa mencoba
memperbaikinya sekarang."
Gelia: (shaking her head)
"Make things right? You’re just one man, Javi. The government controls everything. They’ve made us
believe we don’t need children anymore, that we don’t need the future. And the people—" (she
gestures around at the empty streets) "—they bought into it. They think eternal youth is all they need.
But look around you. There’s no life here. Just... empty people clinging to something that’s not real."
Gelia: (menggelengkan kepala)
"Memperbaiki keadaan? Kau hanya seorang pria, Javi. Pemerintah mengendalikan segalanya. Mereka membuat
kita percaya bahwa kita tidak membutuhkan anak lagi, bahwa kita tidak membutuhkan masa depan. Dan orang-
orang—" (dia menunjuk ke jalan-jalan yang kosong) "—mereka mempercayainya. Mereka pikir masa muda
abadi adalah satu-satunya yang mereka butuhkan. Tapi lihatlah sekelilingmu. Tidak ada kehidupan di sini.
Hanya... orang-orang hampa yang berpegang teguh pada sesuatu yang tidak nyata."
Javi stares out at the quiet city, his mind racing with everything she’s saying. He knows she’s right. The
people of New-nesia have become hollow, lost in the promise of eternal youth, without realizing what
they’ve sacrificed to get it.
Javi menatap ke luar ke arah kota yang tenang, pikirannya berpacu dengan semua yang dikatakan wanita itu. Dia
tahu wanita itu benar. Orang-orang New-nesia telah menjadi hampa, tersesat dalam janji awet muda, tanpa
menyadari apa yang telah mereka korbankan untuk mendapatkannya.
Javi: (softly)
"I know. I’ve seen it. I’ve seen how people change after they take the serum. It’s like... they’re not even
themselves anymore. Just frozen in time, pretending everything’s fine. But it’s not."
Javi: (dengan lembut)
"Aku tahu. Aku pernah melihatnya. Aku pernah melihat bagaimana orang berubah setelah mereka meminum
serum. Rasanya... mereka bahkan bukan diri mereka sendiri lagi. Hanya terpaku dalam waktu, berpura-pura
semuanya baik-baik saja. Tapi tidak demikian."
Gelia:
"And yet you’re still here, wearing that uniform. Still enforcing their rules."
Gelia:
"Dan kau masih di sini, mengenakan seragam itu. Masih menegakkan aturan mereka."
Javi looks down at his uniform, the symbol of the government stitched into the fabric. It feels like a
brand, marking him as part of the very machine he’s beginning to despise.
Javi menatap seragamnya, simbol pemerintah yang dijahit ke dalam kain. Rasanya seperti sebuah merek, yang
menandainya sebagai bagian dari mesin yang mulai dibencinya.
22 | P a g e