Page 2 - Cerpen Ubi Jalar Madu
P. 2

Aku belum bisa menghilangkan ganjalan di hatiku pada ibu. Aku masih teringat
                        perlakuannya padaku saat dulu ayah masih hidup. Ayah menikah dengan ibu ketika
                        usiaku sembilan tahun, sementara ibu seorang gadis dari kampung sebelah. Ibu
                        kandungku meninggal karena sakit. Bersama ayah, ibu tidak dikaruniai anak sampai
                        ayah tiada.



                        Ayah  meninggal—karena  sakit  yang  cukup  lama  dideritanya—  tepat  di  malam
                        tahun baru 2020. Kami begitu kehilangan, termasuk juga ibu yang hanya tinggal
                        bersama ayah. Setelahnya, ibu tinggal seorang diri—menjalani sisa umur dengan
                        menanam tanaman yang disukainya di halaman rumah. Aku menawarkan ibu untuk
                        tinggal bersama kami di luar kota, tapi ibu menolaknya.



                        “Sampai kapan pun ibu akan tinggal di sini. Ibu ingin selalu mengenang ayahmu di
                        rumah ini. Tak mungkin ibu meninggalkan tempat ini. Jika pergi dari sini berarti
                        ibu meninggalkan ayahmu. Tak Mungkin. Makna ayahmu bagi ibu terlalu dalam,
                        Nak.” Begitu jawaban ibu setiap kali aku mengajaknya untuk tinggal bersama. Mas
                        Budi juga selalu khawatir pada ibu dan mendesakku untuk mengajaknya tinggal
                        bersama kami. Namun, ibu selalu menolaknya. Aku pun mengalah, setiap aku ada
                        keperluan ke kota di mana rumah ibu dekat dengan kota itu, aku menyempatkan
                        diri mampir ke rumah ibu, tentunya sudah minta izin pada Mas Budi. Dan, Mas
                        Budi  pun  mengizinkan  dan  mendukung  penuh  apa  yang  aku  lakukan,  kecuali
                        sikapku pada ibu yang belum bisa berubah: aku masih memendam bara di hati pada
                        ibu.  Awalnya  aku  berniat  akan  bersikap  ramah,  tetapi  ketika  bertatap  muka
                        dengannya, aku tak mampu melakukannya.



                        Aku selalu teringat ketika ibu memaki-makiku tanpa sebab; menghukumku ketika
                        telat pulang karena mengerjakan PR secara berkelompok di rumah teman. Jika ada
                        ayah pun ibu kerap membentak dan menghukumku, apalagi jika tidak ada ayah.
                        Misalnya ketika tak sengaja aku memecahkan piring yang baru saja kucuci. Sumpah
                        serapah ibu seperti peluru yang diberondongkan dari sebuah senapan ke arahku.



                        Suatu sore—waktu itu aku kelas tiga SMP— aku belajar kelompok di rumah teman.
                        Aku pulang terlambat karena ada tugas sekolah yang harus kami kerjakan, dan tugas
                        itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Aku pulang ke rumah bakda magrib,
                        padahal ibu telah mewanti-wantiku untuk pulang sebelum magrib.
   1   2   3   4   5   6   7