Page 3 - Cerpen Ubi Jalar Madu
P. 3
“Kalau nanti kamu pulang terlambat, tidur di gudang atas!”
Sesampai di halaman rumah, aku disambut oleh wajah ibu yang seperti bara. Mulut
ibu seperti mengeluarkan suara petir. Mata ibu seperti keluar dari tempatnya.
Tangan ibu berkacak pinggang seperti capit kepiting yang hendak menjepit
mangsanya. Malam itu ayah sedang tidak di rumah karena piket kerja malam hari.
Semalaman aku diperintahkan ibu untuk tidur di gudang. Semalaman itu aku
menangis sesunggukan. Kejadian bertahun-tahun lalu itu seperti melekat kuat di
batok kepalaku.
Di kamar, aku tiduran, sambil terbayang kejadian-kejadian menyakitkan dulu yang
dilakukan ibu padaku, juga mengingat ayah yang selalu kurindukan. Ayah bagiku
seperti embun yang selalu kurindukan kesejukannya. Tutur katanya embun.
Senyumnya embun. Kasih sayangnya embun.
Aku melinangkan air mata mengingat itu semua. Tak terasa waktu sudah cukup
sore, aku harus pulang. Ibu menyapaku, ”Mau ke mana, Asih? Masih belum terlalu
sore kok.”
“Pulang.”
“Kamu bawa ubi jalar madu ya? Bisa direbus atau untuk buat kolak, rasanya enak
sekali.”
“Mas Budi dan Wening kurang suka ubi jalar. Nanti malah mubazir kalau aku
bawa.”
Terlihat wajah kecewa ibu karena aku menolak pemberiannya. Padahal sebenarnya
aku ingin sekali mencicipinya. Namun, rasa gengsi mengalahkannya.
Dalam perjalanan pulang—di atas sepeda motor matic—aku terus memikirkan
tentang ibu dan ubi jalar madu. Ingin rasanya memaafkan ibu, tetapi sampai detik
ini aku belum mampu melakukannya.