Page 4 - Cerpen Ubi Jalar Madu
P. 4
Aku melinangkan air mata mengingat itu semua. Tak terasa waktu
sudah cukup sore, aku harus pulang. Ibu menyapaku, “Mau ke mana,
Asih? Masih belum terlalu sore kok.”
Meski masih ada ganjalan di hati, tetapi aku tak bisa untuk tidak mampir ke rumah
ibu. Rumah di mana aku dulu dilahirkan dan dibesarkan oleh dua ibu, dan seorang
ayah. Rumah yang ditumbuhi berbagai tanaman. Menurut ayah, tanah di mana
rumah itu berdiri dulunya adalah sebuah kebun yang sering digunakan oleh warga
untuk membuang sampah. Setelah ayah membeli tanah itu, kemudian ayah
membersihkannya dan meratakannya. Secara perlahan ayah membangun rumah,
membuat tembok keliling, dan menanami tanaman di halaman depan, samping
kanan, kiri, dan belakang. Berbagai tanaman buah dan sayur ditanamnya, seperti:
mangga, jeruk, bayam, kangkung, jahe, sereh, rambutan, sawo, cabe, kedondong,
ubi kayu, ubi jalar, dan banyak tanaman lainnya.
Sesampai di rumah, aku menceritakan semuanya pada Mas Budi.
“Seharusnya kamu tidak bersikap seperti itu.”
“Aku masih teringat perlakuan-perlakuan ibu padaku dulu.”
“Sekarang ibu sudah berubah.”
“Aku belum bisa berubah.”
“Harus bisa.”
Semalaman aku tak bisa tidur. Wajah ibu memenuhi isi kepalaku. Sudah ada gurat-
gurat ketuaan di wajahnya—ketika aku menatapnya dari dekat—meski masih
kentara wajah cantiknya saat muda dulu. Usia yang sudah di atas 60 tahun, tetapi
ibu masih tampak cantik dan sehat.