Page 199 - GARIS WAKTU
P. 199
Dan tatkala hujan berhenti, aku bergegas melangkah
keluar, mencari kaki langit. “Di langit yang engkau tatap,
ada rindu yang aku titip,” katamu dahulu kala.
Apa kabar? Sedang apa? Begitu banyak hal yang
hendak kutanyakan. Namun bibir ini kelu. Aku hanya
mampu menitipkan sepucuk surat di sudut cakrawala,
berharap akan kau baca. Atau jika tidak pun, kau tahu
bahwa hari ini aku memikirkanmu—tak berlebihan, tak
kekurangan.
Akhirnya, “waktu” menimbun aku dengan debunya:
perlahan membuatmu tak lagi mengingatku. Aku tak tahu
lagi kau ada di mana, sudah lama kita tidak lagi berusaha
untuk saling menghubungi. Ini yang dulu kumau, bukan?
Adalah gengsi yang membuatku tidak mau
menyapamu. Mungkin kau pun sama: bertahan di tepian
keangkuhan, tak mau jadi orang pertama yang mengucap
salam. Walau, kurasa ini yang terbaik. Untuk apa kita
saling menyiksa diri? Kembali untuk memperbaiki
kesalahan dengan kembali untuk mengulangi kesalahan
memang beda tipis. Dan aku tahu kita tidak mau terjebak
euforia sesaat.
Seorang sahabat menghampiriku lalu menepuk
bahuku. “Untuk bersyukur, ada kalanya kita perlu
194

