Page 7 - Dalam Bingkai Kesabaran
P. 7

Guru Agama yang Peduli




             A
                     ku bukan siapa-siapa. Aku lahir dari keluarga
                     sederhana. Bapak seorang montir, ibuku seorang ibu
                     rumahtangga yang buka warung kecil di rumah.
             Selain itu, ibu kadang  ikut bekerja sebagai buruh menjahit
             konveksi. Setiap hari  ibu mengambil kain  yang sudah
             dipotong sesuai pola, dan dijahit di rumah.
                 Bapak dan ibu memang pekerja keras untuk menghidupi
             ketujuh anaknya. Aku anak keempat. Kakakku  yang sulung
             perempuan, dua kakakku lagi yang nomor 2 dan 3 adalah laki-
             laki. Tiga adikku perempuan semua.
                 Kedua kakak laki-laki itulah yang menjadi teman
             bermainku. Tidak heran jika teman bermainku rata-rata laki-
             laki, karena sebenarnya mereka adalah  teman-teman
             kakakku.  Karena aku lebih banyak punya waktu  bermain
             dengan anak laki-laki,  tak heran  pula jika  penampilanku
             waktu  kecil seperti lelaki. Istilah sekarang  adalah anak
             tomboy. Sampai-sampai ada tetangga yang  pernah bilang
             pada ibuku, ”Anakmu ini dulu mau lahir laki-laki apa ya? Cah
             wedok kok  polahnya kayak laki-laki?” Ibu hanya menjawab,
             ”Mboten ngertos Bude. Suk yen gedhe rak malih dhewe (tidak
             tahu, Bude. Besuk kalau sudah besar akan berubah sendiri).
                 Keluargaku bukanlah keluarga religius. Kami tidak banyak
             mendapatkan ajaran agama dari orangtua. Keluargaku boleh
             dibilang keluarga  pancasila. Masing-masing  boleh memeluk
             agama sesukanya, karena bapak dan ibuku tidak



                                               Dalam Bingkai Kesabaran | 1
   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12