Page 10 - Dalam Bingkai Kesabaran
P. 10
“Dua surat, Bu?” tanyaku dengan hati berdebar-debar.
Satu surat saja aku belum tentu bisa. Tapi bu Zubaida tetap
meyakinkanku.
”Mulai besuk pagi kita latihan ya? Surat Attiin kan pernah
kamu hafalkan. Besuk ditambah dengan terjemahannya.
Untuk pilihannya kamu mau surat apa?”
Aku berpikir sejenak. Akalku berputar mengingat ingat
stok hafalan surat yang sudah kukuasai.
” Surat An-nas, Bu.” Kata itu meluncur dari lisanku. Bu
Zubaida mengangguk. ”Baiklah, ibu tunggu besuk siang
pulang sekolah kita latihan.” Kali ini aku yang mengangguk,
dan keluar dari ruang guru.
Di rumah aku berlatih keras menghafal. Ternyata mas
Haryono, kakakku, juga diikutkan dalam perlombaan itu. Aku
tidak habis pikir, kenapa ibu Zubaida memilih kami berdua
untuk mewakili. Padahal lomba ini diadakan tingkat
kecamatan. Minimal akan ada lima sekolah yang ikut.
Perasaan takut gagal dan mengecewakan sekolah muncul di
anganku. Berhari-hari aku tidak keluar rumah. Belajar,
berlatih dan menghapal.
Tidak begitu halnya dengan kakakkku. Dia bersikap biasa
saja. Dia bilang kalau lomba itu hasilnya ya ada dua. Kalau
tidak kalah ya menang. “Kamu tidak ingin menang?” tanyaku.
“ Tidak tahu,” jawabnya.”Yang penting aku ikut. Kalah
menang sudah diatur Allah,” sahutnya santai.
“Tapi kita kan harus berusaha... Gimana Allah akan
memberi kemenangan kalau kita tidak berusaha dengan
baik?” Aku mencoba menyemangatinya. Tapi kakakku malah
4 | Harini