Page 15 - Dalam Bingkai Kesabaran
P. 15
“Apa mungkin saya bisa diterima?” Tanyaku ragu. “Kamu
kan dari keluarga mampu. Ibumu juga seorang guru. Ibumu
tentu punya banyak teman di sekolah itu.”
“Nilaimu kan bagus. Kamu cukup pintar. Yakinlah kamu
akan diterima. Kita bisa belajar di sekolah yang sama lagi.”
Sahabatku meyakinkanku.
Hati kecilku mulai terusik. Rasanya sayang juga jika harus
berpisah dengan Rina. Bahkan teman sebangku pun juga
masuk ke sekolah itu. Aku mulai terbujuk. Keinginan masuk
ke SMP tempat kakakku belajar, mulai kendur. Aku
bayangkan bisa bersekolah di tempat teman-teman SD yang
sudah akrab denganku. Banyak yang meyakinkan bahwa aku
akan diterima. Orangtuaku pun menyerahkan pilihan
kepadaku. Aku dengan keyakinan diri mendaftar bersama
Rina, sahabat sekaligus tetanggaku. Kami diantar kakak Rina.
Waktu itu masuk ke SMP harus mengikuti tes seleksi. Aku
pun bersiap diri dan belajar lagi. Selama tes aku berusaha
mengerjakan dengan baik. Yang agak mengganjal di hatiku
saat aku mengisi formulir, disitu ada pertanyaan, apakah ada
saudara yang pernah bersekolah di SMP ini? Pertanyaan ini
memngganggu pikiranku. Tiba-tiba aku merasa ragu, jangan-
jangan aku nanti ditolak karena aku tidak punya saudara yang
bersekolah di situ. Entah karena itu atau karena hal yang lain,
akhirnya aku tidak diterima di sekolah favorit itu. Aku pulang
dengan hati sedih. Ada lima anak dari SD ku yang mendaftar
di sana diterima, kecuali diriku.
Aku pulang dengan perasaan tidak menentu. Aku sedih
menyampaikan kabar kepada ibu bahwa aku tidak diterima.
Ibu tidak marah. “ Ya sudah. Memang bukan rejekimu
Dalam Bingkai Kesabaran | 9