Page 137 - 20201219 - Tempo - Korupsi Bansos Kubu Banteng
P. 137
12/20/2020 HAM dalam Reuni Organisisme-Developmentalisme
Pada saat yang sama, karena krisis finansial, developmental state Orde Baru,
yakni negara yang secara aktif mencengkeram pelbagai sektor ekonomi, dihantam
dengan tuntutan-tuntutan baru yang dibawa oleh neoliberalisme untuk lebih
membuka diri terhadap kekuatan pasar global.
Untuk sesaat-sebagaimana dicatat oleh Bourchier-Indonesia menikmati
suasana politik yang sedikit kosmopolit. Namun pandangan holisme,
kekeluargaan, dan kesatuan organis dalam memandang manusia, negara, dan
masyarakat rupanya telah telanjur berurat-akar dalam tradisi politik di Indonesia
serta terus beresonansi setiap kali muncul kebutuhan untuk merumuskan identitas
nasional, dari zaman ke zaman, dari rezim-rezim pasca-Soeharto. Pada masa
pemerintahan Joko Widodo, organisisme menguat kembali dalam rangka
menjawab dua keperluan: konsolidasi politik pembangunan (neo developmental
state) dan jawaban atas populisme agama.
Kembalinya negara organisisme dan developmental state di masa kini tidak
membutuhkan syarat-syarat politik baru yang lebih rumit karena seluruh
perangkat keras dan lunak warisan Orde Baru masih tersedia secara lengkap
dalam matriks kepolitikan Indonesia. Sebaliknya, ia dengan segera menghasilkan
mimpi buruk lama dalam hak asasi manusia: kekerasan di Papua, impunitas,
menyempitnya ruang civic yang ditandai dengan rontoknya kebebasan
berpendapat dan berekspresi, kekerasan terhadap komunitas di sekitar sumber
daya alam, kerusakan lingkungan, kemerosotan demokrasi, politik hukum yang
makin represif.
Yang lebih mengkhawatirkan, kombinasi baru organisisme dan developmental
state di Indonesia kini menghadirkan deja vu yang masih terasa intim dalam
ingatan: birokrasi yang korup, meredupnya politik posisi demokratik, kebijakan
ekonomi dan infrastruktur yang terkonsentrasi di tangan negara.
Pengalaman masa lalu menunjukkan salah satu sumber daya rusak negara
pembangunan di bawah organisisme adalah ia mengandalkan skema, model, dan
tahap yang abstrak dalam klaim akan progres. Akibatnya, ia mengabaikan
eksistensi manusia yang konkret. Ia puas atas berdirinya bendungan, kebun,
tambang, serta infrastruktur dan jatuh pada anggapan bahwa itulah perubahan
yang dengan otomatis akan membawa semua orang ke dalam kemajuan. Kalau
ada korban atau yang tercecer, itu ekses.
Dari sini, pada akhimya developmental state menceraikan kebebasan dan
martabat manusia dari pembangunan, menjadikan ekonomi identik dengan
kekerasan. Namun, sebagaimana ditulis Tania Muray Li, "Like their colonial
predecessors, contemporary national development regimes sometimes resort to
read ://https _ majalah. tempo.co/?url=https%3A %2F%2Fmajalah. tempo.co%2Fread%2Fkolom%2F 162152%2Fkolom-robertus-robet-ham-dalam-re. . . 4/5