Page 446 - BUKU KATA FADLI CATATAN KRITIS DARI SENAYAN
P. 446
SOSIAL DAN BAB XX
KEBUDAYAAN
(10)
SENI & DIPLOMASI POLITIK
AK lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,
17 Agustus 1945, para pelukis yang bekerja di Bunka-Ka, Medan,
sebuah kantor propaganda kebudayaan didirikan penguasa
Jepang, segera mendeklarasikan berdirinya Angkatan Seni
TRupa Indonesia (ASRI). Organisasi beranggotakan tak kurang
dari 20 orang pelukis ini dipelopori Hoessein Enas sebagai ketua, Nasjah
Djamin sebagai sekretaris, dan Daoed Joesoef sebagai bendahara.
ASRI mengadakan pameran besar pertamanya pada Desember 1945.
Selain bertujuan membangkitkan apresiasi seni di kalangan masyarakat,
pameran itu dimaksudkan untuk mencari dana bagi gerakan dan
perjuangan kaum muda. Hingga kini kita mencatat pameran kolektif di
pengujung tahun 1945 itu merupakan pameran lukisan terbesar sepanjang
sejarah Kota Medan.
Selain menghasilkan berbagai lukisan untuk membiayai perjuangan
kaum muda, para anggota ASRI juga bergerak membuat poster-poster
dan menulis slogan-slogan perjuangan di tembok-tembok, di dinding
kantor, serta gerbong kereta api. Mereka mempropagandakan semangat
kemerdekaan dan semangat perjuangan melalui berbagai medium tadi.
Apa yang dilakukan para pelukis ASRI di Medan kemudian diteruskan
pelukis Seniman Indonesia Muda (SIM) di Solo, Yogya, dan Madiun. Ini
menggambarkan sejarah seni rupa Indonesia modern cukup punya irisan
dengan perjuangan dan juga politik.
Irisan seni dan politik mungkin bukanlah sejenis relasi unik. Hubungan
antara keduanya bahkan sangat mungkin merupakan keniscayaan.
Saya teringat Walter Benjamin yang menulis bahwa setiap seni,
dan juga kesenian, selalu memiliki ideologi politik. Lebih jauh, seni dan
kesenian, bagi Benjamin, bahkan dianggap medium perubahan masyarakat.
Itu sebabnya ia menyebut seni sebagai “politik dalam gambar-gambar
CATATAN-CATATAN KRITIS 471
DARI SENAYAN