Page 11 - BUKU EMPAT - DPR RI MASA ORDE BARU: MENGUATNYA PERAN NEGARA 1967-1997
P. 11
SEABAD RAKYAT INDONESIA
BERPARLEMEN
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar
Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI),
Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia
(KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), Kesatuan Aksi Guru
Indonesia (KAGI). Puncaknya terjadi pada 12 Januari 1966, yakni saat
ribuan mahasiswa bergerak ke Gedung Sekretariat Negara untuk
memprotes kenaikan harga dan mendesak pemerintah agar meninjau
kembali aturan baru terkait ekonomi yang justru menimbulkan dampak
buruk bagi rakyat. Dalam aksinya itu, mahasiswa mengajukan tiga
tuntutan: bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormas-
ormasnya, rombak Kabinet Dwikora, dan turunkan harga. Inilah tiga
poin yang disuarakan para mahasiswa dan dikenal dengan nama Tritura
atau Tri Tuntutan Rakyat.
Keraguan-raguan Presiden Sukarno dalam menyikapi PKI
1
serta kondisi perekonomian nasional yang kacau-balau membuat
2
massa rakyat dan mahasiswa menuding Kabinet Dwikora tidak becus
menjalankan kinerjanya. Karena itu, kabinet harus dirombak, bahkan
kalau perlu dibubarkan. Alhasil, tiga tuntutan krusial itu pun terus-
menerus diserukan nyaris setiap hari, meski harus berhadapan dengan
aparat bersenjata.
Tuntutan pembubaran yang tidak segera dipenuhi ini lama-
Tuntutan kelamaan bahkan berubah menjadi desakan agar Bung Karno turun
pembubaran takhta. Dalam situasi macam itu, Sukarno selaku presiden mulai was-
3
yang tidak segera was dengan kemungkinan bahwa dirinya bisa saja dimakzulkan para
dipenuhi ini lama- demonstran. Ia kemudian mengundang delegasi mahasiswa untuk
kelamaan bahkan
berubah menjadi 1 Membubarkan PKI, apalagi mengganyang orang-orangnya, memang tidak mudah bagi Sukarno
desakan agar Bung yang dikenal dekat dengan para petingginya. Situasi kali ini sungguh berbeda dengan Peristiwa
Madiun tahun 1948. Kala itu, ia bisa dengan tegas mengatakan: “Pilih Musso atau pilih Bung
Karno dan Bung Hatta?!” Seperti ditulis Andreas A. Yewangoe, sulitnya Bung Karno mengambil
Karno turun takhta. keputusan setelah tragedi 1965 bukan saja karena kesalahan PKI yang belum bisa dibuktikan,
melainkan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) yang digagasnya akan menjadi cacat.
Lihat Andreas A. Yewangoe, Dr. Johannes Leimena, Negarawan Sejati & Politisi Berhati Nurani
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 211.
2 Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, yang terlibat langsung
dalam situasi tersebut menggambarkan betapa kisruhnya keadaan pada masa itu. Dalam salah
satu esainya, ia menulis, “Terjadi kepanikan yang hebat dalam masyarakat, terlebih kalau diingat
pada waktu itu menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Tionghoa. Harga membumbung
beratus-ratus persen dalam waktu hanya seminggu. Para pemilik uang melemparkan uangnya
sekaligus ke pasar, memborong barang-barang.” “Kekacauan ini,” lanjut Gie, “ditambah pula
dengan politik menaikkan harga dari pemerintah. Tarif kendaraan umum rata-rata dinaikkan
antara 500 persen sampai 1.000 persen. Tarif jasa-jasa lainnya juga ikut naik. Dan yang paling
terpukul dari tindakan pemerintah adalah rakyat kecil, karena beras naik rata-rata 300 persen
sampai 500 persen.” Ditambahkannya, “Mahasiswa terpukul sekali, terutama dengan naiknya tarif
angkutan umum. Harga bensin dalam waktu setengah bulan naik, dari 400 rupiah per liter menjadi
1.000 rupiah.” Gie menilai, pemerintah memang sengaja menciptakan situasi chaos seperti itu
sebagai pengalihan isu. Masyarakat dikacaukan agar desakan mengganyang orang-orang PKI
yang terlibat G30S 1965 teralihkan. “Dalam kepanikan umum ini, maka agen-agen gelap PKI
akan semakin leluasa bergerak.” sebut Gie. Lihat Soe Hok Gie, Zaman Peralihan (Jakarta: Gagas
Media, 2005), hlm. 4-6.
3 Andreas A. Yewangoe, Dr. Johannes Leimena, Negarawan Sejati & Politisi Berhati Nurani, hlm.
211.
dpr.go.id 2
Bab I.indd 2 11/21/19 17:50