Page 11 - Stabilitas Edisi 218 Tahun 2025
P. 11
mengakar. Dalam beberapa tahun melonggarkan regulasi secukupnya tanggapan dari para pemain lama. Bank-
setelahnya muncul generasi konsumen agar inovasi dapat bernapas. Rezim bank ‘tradisional’ yang merasa dalam
yang menganggap “pergi ke bank” sama perizinan untuk bank digital ditetapkan, tekanan berlomba-lomba mendigitalkan
asingnya dengan membeli deposito dan persyaratan modal disesuaikan agar layanan mereka, memangkas jaringan
berjangka. pemain yang lebih kecil dan berbasis cabang, dan meluncurkan cabang-cabang
Bank digital memanfaatkan revolusi teknologi dapat berkembang tanpa “neo”. “Blu” BCA, ‘Bank Raya’ dari
perilaku ini dengan menghilangkan membahayakan stabilitas sistemik. BRI, atau hibank milik BNI merupakan
hambatan yang telah lama menjadi ciri Infrastruktur pembayaran digital respons langsung terhadap para
khas perbankan Indonesia—antrean, bank sentral, BI-Fast, juga berperan disruptor.
dokumen, dan proses verifikasi birokrasi. sebagai penolong bagi perkembangan Dalam hal ini, bank digital
Mereka membangun produk dan pesat ini, memungkinkan transfer instan merupakan pengganggu sekaligus
layanannya di atas ekosistem yang sudah yang mendukung segala hal mulai dari pembaharu. Mereka telah memaksa
familiar bagi konsumen belakangan ini. belanja daring hingga pinjaman peer- sektor yang terlena untuk menemukan
Yaitu konsumen yang mulai dan sudah to-peer. Berbeda dengan negara-negara kembali daya saing. Industri perbankan
terbiasa dengan e-commerce, aplikasi berkembang lainnya di mana regulator Indonesia, yang dulunya termasuk yang
paling menguntungkan tetapi paling
Pertanyaannya bukanlah apakah bank digital tidak inovatif di Asia, kini bergairah
akan bertahan, melainkan apakah mereka dapat dengan eksperimen.
Jika kapitalisme menghargai
tetap lincah, inklusif, dan tepercaya setelah penghancuran kreatif, maka bank
mereka tumbuh terlalu besar untuk menyebut digital Indonesia adalah pendukungnya
yang paling mutakhir. Mereka telah
diri mereka “perusahaan rintisan” menunjukkan bahwa keuangan, yang
dulunya hanya terpaku pada dokumen
transportasi online, dan fintech. SeaBank mengekang atau mengabaikan fintech, dan hierarki, kini dapat berkembang
memanfaatkan gelombang oranye Indonesia mencapai keseimbangan pesat berkat kode dan konektivitas.
Shopee; Jago menemukan ceruknya pragmatis: pengawasan yang cukup Namun, seperti yang diingatkan sejarah,
di ekosistem ojek online, Superbank untuk menghindari kekacauan, revolusi keuangan seringkali berakhir
didorong oleh kekuatan data dan kebebasan yang cukup untuk mendorong dengan koreksi.
distribusi GoTo, sementara Allo Bank kreativitas. Pertanyaannya bukanlah apakah bank
memanfaatkan ekosistem konglomerasi Tentu saja, lingkungan yang sudah digital akan bertahan, melainkan apakah
induknya. dimitigasi sedemikian rupa tetap masih mereka dapat tetap lincah, inklusif, dan
Bank digital seperti mengajari para akan ada lubang bagi munculnya pelaku tepercaya setelah mereka tumbuh terlalu
pemain lama, bahwa konsumen kini tidak yang jahat. Sejumlah pemberi pinjaman besar untuk menyebut diri mereka
menginginkan bank (secara fisik dan digital yang meragukan—rentenir yang “perusahaan rintisan”. Bahayanya
lembaga), namun mereka menginginkan menyamar—berkembang pesat di bawah bukanlah kegagalan, melainkan rasa puas
layanannya yang terintegrasi, lancar, dan bayang-bayang regulasi. Namun hal itu diri—penyakit yang sama yang pernah
tak terlihat. pun masih memberikan keberkahan menimpa para pendahulu mereka.
tersendiri kepada bank digital yang Saat ini, bank-bank digital Indonesia
Sisi Regulasi justru mendapatkan tambahan validasi menikmati masa keemasannya. Namun
Regulator Indonesia patut dipuji mengenai jasa keuangan yang sah, mudah seperti kaya pepatah, makin tinggi
karena menyadari pergeseran ini. diakses dan aman. seseorang maka akan makin sakit ketika
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Apa yang terjadi kemudian adalah ia jatuh.*
www.stabilitas.id Edisi 218 / 2025 / Th.XXI 11

