Page 170 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 170

Permasalahan dan Kebijakan Agraria, Pertanahan, dan Tata Ruang di Indonesia     161


             tanah pascatambang  belum diatur secara jelas dalam peraturan perundangan yang ada saat ini,
             hal ini berpengaruh terhadap  pelaksanaan reklamasi.
                   Tanah  pascatambang  yang  pada  waktu  awal  pemegang  IUP  melakukan  eksploitasi
             merupakan tanah Negara “bebas” tanpa ada penguasaan fisik bidang tanah sehingga pemegang
             IUP langsung dapat menambang, apabila potensi tambang dinyatakan habis oleh pemberi IUP,
             maka  masyarakat  yang  lebih  dahulu  menduduki  tanah  tersebut  yang  mendapat  prioritas
             mengajukan permohonan hak atas tanah. Namun apabila IUP habis sedang potensi tambang

             belum  dinyatakan  habis  maka  masyarakat  yang  menduduki  belum  dapat  mengajukan
             permohonan hak atas tanah tanpa persetujuan pemberi IUP. Hal ini menyebabkan terjadinya
             pertambangan inkonvesional (TI) seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Provinsi Bangka
             Belitung sehingga menghambat reklamasi.


             Rekomendasi
              1.  Kementerian  Agraria  dan  Tata  Ruang/Badan  Pertanahan  Nasional  Republik  Indonesia
                  dalam  memberikan  Hak  Atas  Tanah  di  areal  pertambangan  perlu  mempertimbangan
                  Rencana  Tata  Ruang  Wilayah  pasca  tambang  dan  akibat  hukum  yang  timbul  setelah
                  pemberian hak atas tanah tersebut.

              2.  Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan
                  Menteri yang tugasnya mengurusi pertambangan harus bersama-sama merevisi  peraturan
                  perundang-undangan dengan menghapus ketentuan  Pasal  137  Undang-Undang  Nomor  4
                  Tahun 2009 dan menambah Pasal yang mengatur hapusnya hak kepemilikan atas bidang
                  tanah kepada pemegang Ijin Usaha Pertambangan.

              3.  Agar  tidak  terjadi  tumpang  tindih  bidang  tanah  di  areal  pertambangan,  Ijin  Usaha
                  Pertambangan di berikan Instansi terkait dengan menunjuk  Surat Keterangan Pendaftaran
                  Tanah  yang  dilampiri  Peta  Bidang  yang    telah  mempunyai  kekuatan  hukum  letak  batas
                  antara  areal  pertambangan  dengan  areal  bukan  pertambangan  dan  bidang  tanah  yang
                  berbatasan lainnya yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional,  hal ini mengingat
                  koordinat  wilayah  tambang  yang  ada  sekarang    belum  mempunyai  atau  menjamin

                  kepastian hukum letak dan batas.
              4.  Kementerian  Agraria  dan  Tata  Ruang/Badan  Pertanahan  Nasional  Republik  Indonesia
                  segera  menjalankan  tugas  dan  fungsi    pengaturan  tanah  bekas  kawasan  dengan  optimal
                  dan  kerjasama  dengan  pemerintah  daerah  serta    instansi  terkait  sehingga  pengelolaan
                  tanah bekas kawasan bisa berjalan dengan tertib dan tidak terjadi konflik dalam pemilikan,

                  penguasaaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bekas kawasan tersebut.


             Referensi
             Erwiningsih ,W 2009, Hak menguasai negara atas tanah. Yogyakarta:Total Media.
             Ibrahim , J 2005, Teori dan metodologi penelitian hukum normatif. Bayumedia: Malang.
   165   166   167   168   169   170   171   172   173   174   175