Page 165 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 165

156    Himpunan Policy Brief


             perusahaan  tambang  melakukan  kegiatan  penambangan;  dan  (2)  otoritas  mana  yang
             mempunyai kewenangan untuk mengatur pengelolaan tanah-tanah tersebut.
                  Perihal ‘status tanah’ dikemukakan pendapat sebagai berikut:
             (1)  perubahan status tanah hanya terjadi setelah diterbitkan keputusan pemberian ijin, bukan
                  pada keputusan penetapan WP dan WK;
             (2)  dalam hal tanah tersebut merupakan kawasan hutan yang dikuasai dengan skema pinjam
                  pakai  maka  pasca  tambang  status  tanah  tersebut  merupakan  kawasan  hutan  dan

                  dikembalikan pada Otoritas Kehutanan;
             (3)  terhadap areal yang berstatus sebagai tanah Negara maka tanah tersebut tetaplah sebagai
                  tanah  Negara,  namun  jika  pada  tanah  Negara  tersebut  telah  diberikan  ganti  rugi  tetapi
                  tidak  dilakukan  permohonan  hak  atas  tanah,  maka  perusahaan  pertambangan  yang

                  bersangkutan mempunyai ‘hak keperdataan’ atas tanah tersebut;
             (4)  hal  tersebut  berlaku  juga  dalam  hal  tanah  tersebut  adalah  tanah  adat,  kecuali  terhadap
                  tanah  adat  itu  dilakukan  sewa-menyewa  dengan  jangka  waktu  tertentu  maka  hak
                  perusahaan tambang atas tanah tersebut adalah selama jangka waktu sewa menyewa itu;
             (5)  dalam hal pada bidang - bidang tanah dalam kawasan pertambangan itu telah diterbitkan
                  hak atas tanahnya, maka penguasaan perusahaan tambang atas tanah tersebut berlanjut

                  hingga berakhirnya jangka waktu hak atas tanah.
                  Terhadap otoritas yang berwenang mengatur pengelolaan tanah pasca tambang, peraturan
             perundang-undangan  yang  ada  belum  melakukan  pengaturan.  Hanya  saja  secara  analogi
             ketentuan  dalam  UU  No.  26  Tahun  2007  tentang  Penataan  Ruang  dapat  dijadikan  rujukan.
             Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UU tersebut menyatakan:

             -  ayat  (3): penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana
                dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi pemerintah dan
                pemerintah  daerah  untuk  menerima  pengalihan  hak  atas  tanah  dari  pemegang  hak  atas
                tanah.
             -  ayat (4): dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung, diberikan prioritas
                pertama  bagi  pemerintah  dan  pemerintah  daerah  untuk  menerima  pengalihan  hak  atas

                tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan haknya.
             Artinya, baik terhadap tanah-tanah yang telah berakhir jangka waktunya ataupun dilepaskan
             oleh pemiliknya, atau tanah dalam kawasan hutan yang telah dilepas, atau tanah dalam WP
             atau  WK  yang  izinnya  telah  berakhir;  maka  kewenangan  pengelolaan  diprioritaskan  pada
             pemerintah (Pusat) atau pemerintah daerah.
   160   161   162   163   164   165   166   167   168   169   170