Page 164 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 164
Permasalahan dan Kebijakan Agraria, Pertanahan, dan Tata Ruang di Indonesia 155
Ragaan di atas menjelaskan bahwa penguasaan barang tambang bersumber dari
kewenangan menguasai dari Negara yang diatribusikan pada Otoritas Pertambangan. Atas
dasar pelimpahan kewenangan tersebut, Otoritas Pertambangan menentukan Wilayah
Pertambangan (WP) atas sumber daya minerba, dan menentukan Wilayah Kerja (WK) atas
sumber daya migas. WP dan WK adalah wewenang penguasaan barang tambang oleh Otoritas
Pertambangan yang berkarakter publik, artinya kewenangan Otoritas Pertambangan bukan
untuk memiliki namun sebatas kewenangan untuk ‘mengatur’ pengelolaan barang tambang
tersebut. Penetapan WP atau WK dilakukan melalui sebuah keputusan (beschikking) dari
Otoritas Pertambangan yang bersifat umum dan konkret dan tidak berjangka waktu.
Bagaimana dengan status penguasaan tanah dalam WP atau WK tersebut? Penunjukan
WP dan WK tidak ada hubungannya sama sekali dengan penguasaan tanah, karena WP dan
WK merupakan bagian dari tata ruang nasional yang menunjukkan ketersediaan data, potensi,
dan/atau informasi geologi dan minyak dan gas bumi. Dalam hal ini, berlakunya WP dan WK
dapat dipersamakan dengan penunjukan ‘kawasan hutan’ oleh Otoritas Kehutanan, atau
keputusan pemberian ‘izin lokasi’ oleh pemerintah daerah.
Setelah terbitnya WP atau WK otoritas pertambangan kemudian menerbitkan ‘ijin’
dengan suatu keputusan (beschikking), yang merupakan perkenan Negara (Pemerintah) kepada
perusahaan tambang tertentu untuk melakukan ‘kegiatan usaha’ (eksplorasi dan/atau
eksploitasi) atas barang tambang pada luasan tertentu dari WP atau WK. Dengan demikian ijin
tidaklah menjadi alas hak bagi perusahaan tambang untuk menguasai tanah-tanah yang ada di
atasnya sebagaimana tercantum dalam keputusan pemberian ijin tersebut.
Perusahaan tambang yang telah mengantongi izin wajib menyelesaikan tanah-tanah jika
pada tanah tersebut terdapat penguasaan baik phisik dan/atau juridis oleh masyarakat ataupun
pihak tertentu. Penyelesaian tersebut merupakan upaya memutuskan hubungan hukum antara
pihak yang menguasai tanah dengan tanahnya–umumnya dilakukan dengan pemberian ganti
kerugian–yang menjadi dasar beralihnya penguasaan tanah itu kepada perusahaan tambang.
Dalam praktik, bidang-bidang tanah yang telah dibebaskan tersebut kemudian dimohonkan
pensertipikatan ke Otoritas Pertanahan.
Selain itu pada beberapa areal yang diberikan ijin merupakan kawasan hutan (produksi)
dan oleh karenanya untuk bisa dilakukan penambangan haruslah terlebih dahulu ditempuh
skema ‘pinjam pakai kawasan hutan’ dengan Otoritas Kehutanan.
Dengan demikian pada suatu areal pertambangan dimungkinkan terdapat beberapa
entitas tanah, yaitu: (1) tanah negara, baik yang di atasnya terdapat penggarapan ataupun tidak
namun tidak diadakan pembebasan tanah karena tidak atau belum dilakukan penambangan
pada areal tersebut; (2) tanah hak, yaitu tanah yang telah dibebaskan oleh perusahaan tambang
dan telah dimohonkan haknya; (3) tanah adat, yang umumnya dibebaskan dengan pemberian
ganti kerugian; (4) tanah dalam kawasan hutan yang oleh perusahaan tambang dilakukan
skema pinjam pakai dengan otoritas kehutanan.
Berdasarkan uraian tersebut maka persoalan penataan penguasaan tanah pasca tambang
adalah: (1) tentang status tanahnya sehubungan dengan adanya beberapa entitas tanah ketika