Page 193 - Berangkat Dari Agraria
P. 193
170 Berangkat dari Agraria:
Dinamika Gerakan, Pengetahuan dan Kebijakan Agraria Nasional
Tak ada jaminan jika bertani itu menguntungkan. Bertani harus siap
abadi dalam kemiskinan.
Regenerasi petani
Jika kaum muda desa tak lagi mau petani, sementara petani
yang ada semakin menua dan akhirnya tumpas, maka sakaratul
maut pertanian segera tiba. Ilmuwan antropologi dan sosiologi
menyebutnya sebagai fenomena depeasantization. Ketika tak ada lagi
regenerasi petani dan pertanian kehilangan tenaga kerja utamanya,
kita mesti bersiap menyambut ketidak-sanggupan memenuhi
kebutuhan pangan sendiri.
Kita harus siap menyongsong era dimana pangan di datangkan
dari luar negeri. Cita kedaulatan pangan tinggal cita-cita dalam
kenangan. Segala upaya menghidupkan pertanian rakyat berakhir.
Model produksi pertanian pun bersalin rupa. Petani pergi,
datanglah korporasi atau perusahaan raksasa. Penguasaan tanah
dan pengusahaan tanah beralih sepenuhnya dari petani ke tangan
korporasi di bidang pangan (food estate).
Dengan kekuatan modal di tangannya, korporasi bisa
mendapatkan hak atas tanah atau aneka izin usaha di atas tanah
dengan relatif lebih mudah. Dengan modal besar, korporasi bisa
menggendong berbagai sarana dan prasarana untuk ditebarkan di
atas tanah pertanian secara massif. Modernisasi sistem informasi
dan teknologi pertanian kian mudah digelindingkan. Melalui
kemampuan korporasi pertanian pangan yang luar biasa besar
ini, dibayangkan produktivitas pertanian sontak meningkat. Jika
kemampuan ini terus naik, maka Indonesia bisa surplus bahan
pangan. Ketika produk pangan melimpah, Indonesia swasembada
pangan. Tidak mustahil, kita jadi eksportir bahan pangan di dunia.
Sebuah ilusi yang menakjubkan.
Dalam model penguasaan dan pengusahaan pertanian yang
bertumpu pada modal besar, jelas keuntungan akan jatuh untuk
pertama kali ke tangan pemilik modal. Karena petani sudah tak
ada, tinggal buruh-buruh tani yang bekerja di korporasi pertanian.