Page 102 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 102
pembangunan yang ada dengan berbagai strategi. Salah satu strategi yang
dilakukan di kawasan pantai timur Kalimantan (Delta Mahakam) adalah
dengan memberikan kompensasi pembukaan area hutan mangrove untuk
kegiatan pertambakan pasca penghapusan trawl bagi para nelayan lokal,
serta pemberian sejumlah bantuan lunak untuk konversi dari kegiatan
perikanan trawl ke dalam kegiatan perikanan non trawl seiring terbitnya
Kepres No. 39/1980 dan Inpres No. 11/1982.
Laju migrasi di kawasan Delta Mahakam mencapai puncaknya
pasca terjadinya “booms udang”, yang memicu kenaikan harga udang
secara fantastis pada 1987/1998 dan diikuti dengan terjadinya ledakan
penduduk di dalam kawasan Delta Mahakam. Kondisi ini juga diperumit
dengan adanya fenomena “migrasi instan” oleh penduduk dari Pulau
Sulawesi, Pulau Jawa, Samarinda Seberang dan desa-desa lain disekitar
delta Mahakam yang membuka/menjaga tambak-tambak baru dan
berdomisili di dua tempat yang berbeda dengan memegang KTP ganda.
Dari perbandingan data sekunder dan primer Lenggono (2004) berhasil
menunjukkan terjadinya fenomena ”ledakan penduduk” di Desa Muara
Pantuan, yang mengalami pertumbuhan sebesar 122 %. Dus, yang
lebih mengejutkan adalah hasil temuan lapang di salah satu RT yang
mengalami pertumbuhan hingga 831 % hanya dalam 8 bulan, dari 39
KK berkembang-biak menjadi 363 KK. Dapat dibayangkan laju konversi
hutan mangrove untuk area pertambakan dikawasan tersebut, bila semua
Kepala Keluarga di RT tersebut adalah migran petambak yang setidaknya
memiliki/menjaga tambak seluas 2 – 10 Ha. Hanya dalam tempo delapan
bulan disebuah RT terjadi konversi hutan mangrove menjadi area
pertambakan seluas 648 – 3.240 ha.
Para migran tersebut, tidak hanya berasal dari etnik Bugis dan
Makassar di sekitar pantai timur Kalimantan dan Sulawesi, tapi juga
etnik lain dari Sulawesi (Mandar dan Kaili), Timor, Flores, Madura serta
Jawa (khususnya Lamongan) dan berbagai etnik lokal di pesisir pantai
timur Kalimantan (Kutai, Tidung dan Banjar). Banyak diantara mereka
berorientasi menjadi petambak, namun banyak juga yang berharap
mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga empang atau kuli tambak dan
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal 75