Page 105 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 105

“Suatu ketika, diadakan perlombaan lari marathon dari  Tenggarong ke
               Kota  Samarinda. Pesertanya terdiri atas lima orang warga lokal yang
            berbeda etnis, si A beretnis Kutai, si B beretnis Dayak, si C Beretnis Bugis,
              si D beretnis Minang dan si E beretnis Jawa. Ketika perlombaan telah
            berlangsung hampir dua jam, panitia telah bersiap di garis finish, sementara
             penonton bersorak sorai karena seorang peserta telah nampak mendekati
             garis finis. Peserta yang sampai garis finish pertama ternyata adalah si B,
             menurut penonton hal itu wajar karena si B adalah seorang yang terbiasa
              lari jauh dalam setiap melakukan perburuan pelanduk/babi rusa. Pelari
             kedua yang sampai digaris finish ternyata adalah si A, menurut penonton
            hal itu bisa dipahami karena si A sudah sangat mengenal kondisi geografis/
            alam di daerah tersebut. Selanjutnya si E pun menyusul sebagai pelari ketiga
             yang sampai ke garis finish, menurut penonton itu karena si E tidak berani
            ambil resiko berlari sekencang-kencangnya karena kurang mengenal medan,
            ‘alon-alon asal kelakon’ yang penting sampai garis finish. Setelahnya, panitia
              maupun penonton bingung dan resah, karena setelah ditunggu lebih dari
             lima jam si C dan D tidak kunjung sampai garis finish. Akhirnya panitia
             dan penonton memutuskan untuk mencari tahu, apa yang telah membuat
            kedua peserta tidak sampai garis finis, dengan ‘berjalan mundur’ menelusuri
            rute lari marathon. Sungguh terkejut panitia dan penonton setelah berjalan
              10 Km dari garis finish, menemukan si D sedang membangun warung
              makan ditempat strategis, tidak jauh dari simpang empat jalan rute lari
              marathon. Sedangkan si C baru ditemukan tidak jauh dari garis start.
            Dengan bersimbah peluh si C mematoki sebidang tanah kosong tak bertuan,
             karena menggarap tanah dianggapnya lebih menguntungkan dibandingkan
             melanjutkan lari marathon hingga ke garis finish. Demikianlah, penonton
             tidak mampu memahami perilaku kedua peserta, sementara panitia hanya
                              bisa mendiskualifikasi mereka” .
                                                       7

            7.  Anekdot ini memberikan gambaran karikatif bahwa setiap etnis memiliki etika
               moral yang bersumber pada kultur masing-masing, memandu tindakan rasional
               pewarisnya, meskipun hal itu tidak pula terpisahkan dari konteks struktural yang
               melingkupinya.


           78                     Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
   100   101   102   103   104   105   106   107   108   109   110