Page 110 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 110

dan curang, dibuat sedemikian rupa sehingga mereka tampil sangat
             simpatik (seperti Robinhood dalam cerita lisan Barat). Sama halnya
             dengan konsep keberanian, konsep kepandaian juga bersisi ganda.
             Sebagaimana keberanian, kepandaian pun bisa digunakan untuk kebaikan
             bersama dan dapat pula dijadikan alat pemuas hasrat pribadi, namun
             dalam kedua kasus tersebut, kepandaian tetap dipandang sebagai alat
             untuk menegakkan  siri’.
                 Keutamaan ketiga yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang
             baik adalah harta kekayaan. Dalam siklus La  Galigo, kekayaan yang hanya
             satu tingkat di bawah kekayaan dewata merupakan ciri khas semua tokoh
             utama, sesuai dengan status mereka sebagai pemimpin keturunan dewa.
             Kekayaan tersebut berwujud emas yang melimpah, serta aneka ragam
             barang impor berharga seperti kain  patola sutra, parfum, porselen dan
             cermin yang dibawa oleh pedagang “ Marangkabo” dari wilayah barat
             yang tidak dikenal yang mereka sebut Jawa dan  Kelling.
                 Orang Bugis agaknya tidak pernah melupakan kenangan akan zaman
             “keemasan” itu secara harfiah. Hal tersebut terwujud dalam keinginan
             untuk memperkaya diri yang menjadi motivasi paling kuat dan menjadi
             pendorong utama usaha perdagangan dan pelayaran, hingga ekspansi
             ke seberang lautan untuk mengeksploitasi sumberdaya yang bernilai
             ekonomis oleh sebagian besar dari mereka. Bahkan, banyak ulama
             yang menganggap usaha memperkaya diri sebagai suatu kewajiban,
             sepanjang dilakukan secara jujur dan halal (sappa’ dalle’ hallala’), karena
             memungkinkan seseorang membantu sesama yang kurang beruntung.
                 Di  Wajo misalnya, sejak lama seorang laki-laki kaya dapat mengawini
             perempuan yang lebih tinggi derajat kebangsawanannya (walaupun
             melanggar norma yang melarang hubungan semacam itu). Namun dengan
             syarat harus membayar “uang darah” ( pang’elli dara), yang harganya sangat
             mahal dan ditetapkan sepihak oleh keluarga mempelai wanita, seorang
             laki-laki biasa namun kaya dapat mengawini perempuan “berdarah biru”.
             Sistem hierarki orang Bugis, meskipun membedakan orang berdasarkan
             asal-usul keturunannya, pada saat yang sama, juga memberi peluang yang
             sama kepada orang-orang dari status yang sederajat.



             Migran Bugis dan “Pertambakan Ilegal”                        83
   105   106   107   108   109   110   111   112   113   114   115