Page 115 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 115

mulai berani melakukan ekspansi perluasan area tambak dengan cara
            meminjamkan modal usaha pada patronnya untuk membuka hutan
            mangrove yang dikuasainya. Hal inilah yang melanggengkan pola
            hubungan pemimpin-pengikut ( patron-clients) yang masih dipertahankan
            oleh sebagian wiraswasta Bugis dalam kegiatan sosio-ekonomi
            pertambakan.
                Kondisi ini diduga dapat terpelihara karena dalam pranata adat
            Bugis, dikenal istilah  siri’ yang masih berlaku dalam konteks yang lebih
            lunak, meskipun semakin memudar dalam kehidupan bermasyarakat pada
            komunitas Bugis di Kawasan Delta Mahakam. Penelitian yang dilakukan
              Lineton (1975);  Walinono (1979), tentang etnik Bugis dan Makassar
            membuktikan bahwa sistem patron-klien ternyata mampu bertahan di
            bawah kondisi politik dan historis yang relatif berbeda. Pranata adat  siri’
            ini sangat menekankan adanya sikap ksatria dari warga etnik Bugis untuk
            tetap menjaga konsistensi perkataan dan sikap sehingga menimbulkan
            rasa kepercayaan yang tinggi seseorang kepada orang lain. Pranata adat
              siri’ ini juga berlaku dalam sistem permodalan pengelolaan tambak yang
            dilakukan dari ponggawa kepada petambak/penjaga empangnya. ”Dalam
            kehidupan manusia Bugis-Makassar,  siri’ merupakan unsur yang sangat
            prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga
            untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi ini selain dari pada  siri’.
            Bagi manusia Bugis-Makassar,  siri’ adalah jiwa mereka, harga diri mereka
            dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela  siri’
            yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka “manusia
            Bugis-Makassar akan bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya
            yang paling berharga demi tegaknya  siri’ dalam kehidupan mereka”
            ( Hamid Abdullah 1985).
                Selanjutnya menurut  Pelras (2006),  siri’ bukan semata-mata
            persoalan pribadi yang muncul secara sepontan.  Siri’ lebih sebagai sesuatu
            yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial, hal ini
            dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong
            tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis. Biasanya  siri’ akan
            berlaku secara beriringan dengan  passe’ atau lengkapnya  passe’ babua,



           88                     Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
   110   111   112   113   114   115   116   117   118   119   120